Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Minggu, 18 Januari 2015

Refleksi Negeri Kecil



Refleksi Negeri Kecil

Sebuah tulisan sederhana, saya suguhkan untuk materi diskusi petengan yang selalu menjadi agenda rutin malam jum’at. Walau sebenarnya saya bukanlah yang ahli dalam hal tulis-menulis.  Namun rangkaian demi rangkaian kata saya coba susun sedemikian rupa, sebagai buah kegelisahan yang selama ini mengungkung pikiran. Seperti tulisan teman – teman yang telah mengisi diskusi petengan yang sudah-sudah, ini hanyalah sebuah refleksi, namun semoga kegelisahan dalam diri bisa terobati dan juga bisa dirasakan oleh teman- teman yang lain. Oleh karena itu, dengan bahasa tulisan yang masih acak – acakan bin semrawut, saya hendak belajar meramu bak tukang jamu agar bisa dipahami serta dinikmati buat teman – teman semua.

Dengan sebuah judul sederhana yaitu “refleksi negeri kecil”, sebelumnya mungkin teman – teman akan bertanya apa maksud yang hendak saya sampaikan dengan judul tersebut. maksudnya Refleksi itu ialah sebuah bentuk ulasan tulisan yang memuat kegelisahan saya. Dan Negeri kecil yang dimaksudkan disini ialah potret pada saat - saat ketika kita semua masih menginjak masa yang disebut anak – anak. Dimana didalamnya ada negeri yang kita bangun sendiri, yang merupakan dunia kita. Secara natural kita berkembang dari seseorang yang polos lagi lugu, namun tanpa batas dalam mengembangkan alam pikiran. Sebagai ruang ekspresi serba ingin tahu dan kitapun tak terpengaruh beban/masalah urusan - urusan orang dewasa yang mengitari tersebut.
Mungkin saya membicarakan sebuah hal yang sepele, namun ada kegelisahan ataupun keresahan mengganjal yang mengitari ku saat ini. Serasa ada dunia yang hilang bagaikan pulau atlantis yang tenggelam, yaitu tatkala melihat realita sekitar, rupanya permainan adik – adik kita telah tergantikan. Kini yang ku saksikan sekarang jauh berbeda dari masa kita 10 atau 15 tahun yang silam. Bahkan para orang tua kita pun mungkin merasakan hal yang serupa.
Ya, saya tidak memungkiri akan kemajuan teknologi yang menghampiri. Banyak nilai – nilai positif yang bisa digali dan sebagian dari itu ada efek negatif yang didapati. Namun biasanya hal yang negatif itu kita kesampingkan. Karena terlupa akan kemajuan teknologi yang terkadang tak bisa dihindari, sebab watak kita sekarang terbiasa konsumtif akan perkataan “jaim”. Sebab jikalau sedikit saja kita tidak mengenal produk – produk asing itu kita akan di label parno bahkan gaptek.
Untuk adik – adik kita, memang tidak dipungkiri bahwa mereka harus mengenal dan tidak pas kalau membuang hal demikian, karena itulah buah kemajuan teknologi yang ada sekarang, hanya perlu ditekankan agar membatasi ruang tersebut. Tetapi yang sangat disayangkan dengan adanya hal tersebut, sebagian besar mereka (adik-adik kita) lupa akan menjaga tradisi lama yang bisa mengikat emosi dan ruang kesolidan antar teman. Yaitu dalam negeri kecil mereka yang saya sebutkan dalam judul diatas, dimana didalamnya memuat penuh permainan tradisional ala lokal.
Permainan yang serasa baru- baru ini makin punah (lenyap secara berangsur-angsur). Digantikan oleh dunia baru yang hadir dari dunia maya (PS , game online dan sebangsanya), dunia yang selalu mengekspresikan hayalan belaka, yang menjadikan manusia generasi penerus kita itu hilang kepekaan terhadap lingkungannya.
Karena kegelisahan ini, saya pernah melarang ibu atau ayah saya untuk membelikan Hand Phone (contoh kecil hasil teknologi) buat adik, yang masih duduk dibangku SD waktu itu. Walau dia merengek, terpengaruh teman – teman sekitarnya yang sudah memegang alat genggam tersebut. Tapi saya rasa itu bukan masanya dan belum waktunya, hanya karena terkungkung gengsi (mereka punya, kenapa aku tidak). Padahal alat yang awalnya berfungsi sebagai komunikasi itu, akan membuat diri dan watak pribadi saudara kecil saya itu menjadi pribadi yang bukan jati dirinya. Adik saya belum mengerti penuh fungsinya yang ia inginkan, itulah alasan saya.
Saya rindu akan masa kecil konyol namun lucu. Permainan ala kami pribadi yang dibuat bersama – sama, secara tradisional namun sederhana dan terkadang tak perlu mengeluarkan biaya. Itu semua tak saya temukan tatkala generasi angkatan adik saya yang sekarang, karena mereka lebih suka bermain secara individual.
Saya yakin, pengolahan dari permainan – permainan tradisional yang diciptakan oleh kaum  muda atau warisan orang tua terdahulu, mempunyai pesan – pesan moral dan sosial. Ada kerjasama tim yang dibangun untuk saling peduli bukan hanya untuk dirinya pribadi, seperti halnya permainan sederhana yang biasa saya sebut “slodoran”, ada kegigihan untuk belajar membuat sesuatu sebagai kreasi seperti halnya permainan “panggalan” (gangsing ala daerahku), dan masih banyak yang lainnya lagi. Namun seiring waktu permainan kita (budaya saat kecil) seiring waktu terpangkas habis, lambat laun adik –adik kita tak memainkannya lagi, bahkan mereka tidak mengenalinya sama sekali.
Dimana dunia kita yang terdahulu indah itu? Sekarang tak ditemukan lagi kecerian pada generasi baru, yang biasanya menghiasi gang – gang kecil seperti kita dulu.
Tulisan ini hanya sekedar membahas realitas - realitas kecil sekitar, yang dianggap wajar namun kita akan merasa sadar ketika ada sesuatu yang hilang dan itu seperti tercabut dari ujung akar. Masih relakah kita menjadi jati diri yang imporan, terus menerus mengadopsi dunia yang tidak kita kenal...??


“jangan lupakan bahasa ibu yang telah terbentuk dalam diri, karena ia lebih dekat dan jauh lebih kita pahami dari pada bahasa serapan yang baru”

*) Tulisan Refleksi Ahmad Tantowi dalam diskusi petengan, Semester III Institut Studi Islam Fahmina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate