Refleksi Negeri Kecil
Sebuah
tulisan sederhana, saya suguhkan untuk materi diskusi petengan yang selalu menjadi agenda rutin malam jum’at.
Walau sebenarnya saya bukanlah yang ahli dalam hal tulis-menulis. Namun rangkaian demi rangkaian kata saya coba
susun sedemikian rupa, sebagai buah kegelisahan yang selama ini mengungkung pikiran.
Seperti tulisan teman – teman yang telah mengisi diskusi petengan yang sudah-sudah,
ini hanyalah sebuah refleksi, namun semoga kegelisahan dalam diri bisa terobati
dan juga bisa dirasakan oleh teman- teman yang lain. Oleh karena itu, dengan
bahasa tulisan yang masih acak – acakan bin semrawut, saya hendak belajar
meramu bak tukang jamu agar bisa dipahami serta dinikmati buat teman – teman
semua.
Dengan sebuah judul sederhana yaitu “refleksi negeri kecil”, sebelumnya mungkin teman – teman akan
bertanya apa maksud yang hendak saya sampaikan dengan judul tersebut. maksudnya Refleksi itu ialah sebuah bentuk ulasan tulisan yang memuat
kegelisahan saya. Dan Negeri kecil yang
dimaksudkan disini ialah potret pada saat - saat ketika kita semua masih menginjak
masa yang disebut anak – anak. Dimana didalamnya ada negeri yang kita bangun sendiri,
yang merupakan dunia kita. Secara natural kita berkembang dari seseorang yang
polos lagi lugu, namun tanpa batas dalam mengembangkan alam pikiran. Sebagai ruang ekspresi serba ingin tahu
dan kitapun tak terpengaruh beban/masalah urusan - urusan orang dewasa yang
mengitari tersebut.
Mungkin saya membicarakan sebuah hal yang sepele, namun ada
kegelisahan ataupun keresahan mengganjal yang mengitari ku saat ini. Serasa ada
dunia yang hilang bagaikan pulau atlantis yang tenggelam, yaitu tatkala melihat
realita sekitar, rupanya permainan adik – adik kita telah tergantikan. Kini yang
ku saksikan sekarang jauh berbeda dari masa kita 10 atau 15 tahun yang silam.
Bahkan para orang tua kita pun mungkin merasakan hal yang serupa.
Ya, saya tidak memungkiri akan kemajuan teknologi yang
menghampiri. Banyak nilai – nilai positif yang bisa digali dan sebagian dari
itu ada efek negatif yang didapati. Namun biasanya hal yang negatif itu kita
kesampingkan. Karena terlupa akan kemajuan teknologi yang terkadang tak bisa
dihindari, sebab watak kita sekarang terbiasa konsumtif akan perkataan “jaim”.
Sebab jikalau sedikit saja kita tidak mengenal produk – produk asing itu kita
akan di label parno bahkan gaptek.
Untuk adik – adik kita, memang tidak dipungkiri bahwa mereka harus
mengenal dan tidak pas kalau membuang hal demikian, karena itulah buah kemajuan
teknologi yang ada sekarang, hanya perlu ditekankan agar membatasi ruang
tersebut. Tetapi yang sangat disayangkan dengan adanya hal tersebut, sebagian
besar mereka (adik-adik kita) lupa akan menjaga tradisi lama yang bisa mengikat
emosi dan ruang kesolidan antar teman. Yaitu dalam negeri kecil mereka yang
saya sebutkan dalam judul diatas, dimana didalamnya memuat penuh permainan
tradisional ala lokal.
Permainan yang serasa baru- baru ini makin punah (lenyap secara
berangsur-angsur). Digantikan oleh dunia baru yang hadir dari dunia maya (PS ,
game online dan sebangsanya), dunia yang selalu mengekspresikan hayalan belaka,
yang menjadikan manusia generasi penerus kita itu hilang kepekaan terhadap
lingkungannya.
Karena kegelisahan ini, saya pernah melarang ibu atau ayah saya
untuk membelikan Hand Phone (contoh kecil hasil teknologi) buat adik, yang
masih duduk dibangku SD waktu itu. Walau dia merengek, terpengaruh teman –
teman sekitarnya yang sudah memegang alat genggam tersebut. Tapi saya rasa itu
bukan masanya dan belum waktunya, hanya karena terkungkung gengsi (mereka
punya, kenapa aku tidak). Padahal alat yang awalnya berfungsi sebagai
komunikasi itu, akan membuat diri dan watak pribadi saudara kecil saya itu menjadi
pribadi yang bukan jati dirinya. Adik saya belum mengerti penuh fungsinya yang
ia inginkan, itulah alasan saya.
Saya rindu akan masa kecil konyol namun lucu. Permainan ala kami
pribadi yang dibuat bersama – sama, secara tradisional namun sederhana dan terkadang
tak perlu mengeluarkan biaya. Itu semua tak saya temukan tatkala generasi
angkatan adik saya yang sekarang, karena mereka lebih suka bermain secara
individual.
Saya yakin, pengolahan dari permainan – permainan tradisional yang
diciptakan oleh kaum muda atau warisan
orang tua terdahulu, mempunyai pesan – pesan moral dan sosial. Ada kerjasama
tim yang dibangun untuk saling peduli bukan hanya untuk dirinya pribadi, seperti
halnya permainan sederhana yang biasa saya sebut “slodoran”, ada kegigihan untuk
belajar membuat sesuatu sebagai kreasi seperti halnya permainan “panggalan”
(gangsing ala daerahku), dan masih banyak yang lainnya lagi. Namun seiring
waktu permainan kita (budaya saat kecil) seiring waktu terpangkas habis, lambat
laun adik –adik kita tak memainkannya lagi, bahkan mereka tidak mengenalinya
sama sekali.
Dimana dunia kita yang terdahulu indah itu? Sekarang tak ditemukan
lagi kecerian pada generasi baru, yang biasanya menghiasi gang – gang kecil
seperti kita dulu.
Tulisan ini hanya sekedar membahas realitas - realitas kecil
sekitar, yang dianggap wajar namun kita akan merasa sadar ketika ada sesuatu
yang hilang dan itu seperti tercabut dari ujung akar. Masih relakah kita
menjadi jati diri yang imporan, terus menerus mengadopsi dunia yang tidak kita
kenal...??
“jangan
lupakan bahasa ibu yang telah terbentuk dalam diri, karena ia lebih dekat dan
jauh lebih kita pahami dari pada bahasa serapan yang baru”
*)
Tulisan Refleksi Ahmad Tantowi dalam diskusi petengan, Semester
III Institut Studi Islam Fahmina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar