Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Kamis, 22 Januari 2015

Tidak Harus di Sekolah



Tidak Harus di Sekolah
Oleh: Asih Widiyowati



Setiap manusia yang terlahir ke dunia berada dalam keadaan bebas dan merdeka. Baru kemudian sesaat beberapa tahun setelahnya ada kemestian dan keharusan yang mengikat dirinya. Saat usia manusia mulai menginjak 3-6 tahun, mereka sepertinya diwajibkan untuk mengikuti berbagai macam tawaran-tawaran sekolah, mulai dari Pendidikan Usia Dini yang dimulai sejak usia anak 3 tahun, usia yang masih sangat belia. Hingga setelah dia dewasa, pendidikan pun terus ditempuh manusia dengan jenis pendidikan di perguruan tinggi, terus dan terus.
Sekolah adalah lembaga pendidikan di negeri kita yang menjadi tempat seluruh manusia bangsa ini dididik. Karena pendidikan menjadi satu “keharusan”, maka sekolah pun menjadi lahan subur untuk berbagai kepentingan. Kalau kita amati, sekolah di negeri kita begitu menjamur, dari mulai tingkat batita hingga dewasa. Sekolah menawarkan berbagai macam iming-iming fasilitas dan sarana yang wah demi meraih masa depan yang cerah. Sekolah atau lembaga pendidikan antara yang satu dengan yang lain saling berlomba-lomba tak mau kalah, bahkan tak jarang saling sikut. Perang spanduk terjadi dimana-mana, ada yang menjanjikan lapangan kerja, gadget gratis, kualitas, fasilitas, akreditasi, status, bahkan kelas yang diklasifikasikan secara resmi oleh pemerintah, tentunya dengan biaya masuk yang disesuaikan.
Fenomena pendidikan di Indonesia yang seperti itu menurutku tidak lebih dari lalu lalang sekolah yang menawarkan kepada para manusia untuk membayar (mengeluarkan banyak uang) demi fasilitas pendidikan yang terkapitalisasi. Soal masa depan, sebenarnya sama saja, tidak ada jaminan.
Sekolah menjadi semacam pabrik/produsen produk kosmetik yang menjajakan komoditasnya dengan berbagai cara agar banyak yang mendaftar dan membeli produknya. Logika sekolah di negeriku adalah logika pasar, semakin banyak yang membeli semakin banyak laba diperoleh. Karena tujuannya laba, maka prinsip yang digunakan adalah bagaimana dengan sekecil-kecilnya biaya produksi (penyediaan fasilitas, honor guru, dll) bisa menghasilkan untung yang sebesar-besarnya (murid yang sebanyak-banyanya). Soal kualitas itu nomor ke berapa, yang penting adalah cap, merk dan labelnya. Label yang dengan murah dapat dibeli dan disiasati, tinggal pilih sesuai kemampuan penyelenggara pendidikan, mau SSN (Sekolah Standar Nasional), SBI (Sekolah Berstadar Internasional), SKSD (Sekolah Karena Suka Duit) atau apa sajalah. 

Refleksi Jumat Sore
Sore itu, hari jumat sekitar pukul 18.30 WIB, sehabis maghrib tanggal lima Oktober, saat penulis pulang   mengendarai sepeda motor dari  tempat kosan salah satu saudara di daerah Mundu, Kabupaten Cirebon, terlihat sesosok gadis yang berusia belasan tahun tertidur lelap di bawah tiang lampu merah perempatan Perum Rajawali Cirebon.
Kaos lusuh penuh debu dan rok warna merah dan kakinya yang tanpa alas kaki. Ia duduk tertidur hingga kepalanya begitu membungkuk ke bawah. Ia tak menghiraukan bunyi klakson kendaran yang lalu lalang di perempatan jalan raya.
Diri ini membatin, inilah sekolah bagi gadis kecil seumuran dia di negeri tercinta ini. Dia sekolah tanpa perlu gedung mewah, seragam, laboratorium dan lain sebagainya. Mungkin baginya jalan, lampu merah, ramainya kendaraan lalu lalang dan seluruh isi alam semesta ini adalah tempat ia sekolah, belajar tentang kehidupan. Si anak kecil itu memang kelihatan lusuh tak beraturan, tapi toh dia tetap bisa bertahan hidup dan tegar dalam kekejaman kehidupan, sendirian tanpa orang tua dan sanak saudara. Keberaniannya adalah kurikulum dan situasi yang memaksa dia turun ke jalan adalah takdir untuk mengenyam pendidikan dari jalanan.Jutaan pertanyaan pun kembali menghujam, sejak kapan kita di jejali bahwa belajar kehidupan selalu harus masuk ke dalam sistem pendidikan yang harus berseragam formal? Mulai dari sepatu, celana dengan warna yang sama, baju, gedung, kurikulum, hinggacara memandang kehidupan. Peraturan di sekolah pun dibuat-buat dengan kehendak entah siapa? Disiplin lah, anu lah, itu lah. Sejak kapan itu semua menjadi keharusan bagi diri kita, manusia yang merdeka, yang bisa belajar di mana saja. Peraturan sekolah pun diciptakan dengan begitu ketat.
Kedisiplinan menjadi cermin maju atau tidaknya pendidikan di sekolah. Standar-standar militer pun diterapkan supaya sekolah tersebut kelihatan disiplin bahkan kadang dibuat seperti barak-barak para tentara. Tak ada kebebasan apapun atas diri kita, termasuk menentukan sendiri pembelajaran seperti apa yang kita inginkan dan butuhkan, kita ditentukan menjadi seperti apa oleh sebuah sistem yang kita tidak mengerti apa, hanya meyakini bahwa itu baik, titik, satu bentuk iman dari akidah sistem pendidikan di negeri kita.

Arti Sekolah Sebenarnya
Saat mendengar kata sekolah, pada umumnya, orang akan membayangkan suatu tempat di mana anak-anak/orang-orang  menghabiskan sebagian masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu memang mengacu pada suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagaianya, dan seterusnya.
Padahal kalau dari bahasa asalnya, bahasa aslinya, sekolah berasal dari kata skhole, scole, scolae atau scola (Latin), yang secara harfiyah berarti ‘waktu luang’ atau “waktu senggang’. Mengapa demikian?
Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajarai hal ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka sering menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scole, scoale atau schola. Keempatnya mempunyai arti yang sama yakni ‘waktu luang’ yang digunakan secara khusus untuk belajar’ (leisure devoted to learning).
Dua point penting dalam genealogi kata sekolah adalah bahwa sekolah pada awalnya adalah ‘waktu senggang yang digunakan sekehendak manusia’ untuk mempelajari pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dirinya. Pendidikan bukanlah untuk hanya sekedar mendapatkan secarik kertas penentu masa depan. Aneh memang, dengan alasan pendidikan, setiap anak harus sekolah, apalagi dengan di canangkannya wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan oleh pemerintah. Pendidikan macam apa yang tidak mengakomodasi keinginan peserta didik? Pendidikan macam apa yang ditegakkan dengan semangat militer tidak dengan semangat keilmuan? Pendidikan macam apa yang merenggut masyarakat dari kehidupan sosialnya? Pendidikan macam apa yang membuat masa depan manusia sangat bergantung pada ijazah dan sertifikat? Seorang ahli di bidang kehidupannya tidak diakui sebagai ahli gara-gara tidak sekolah dan mendapat ijazah. Petani dengan ilmu pertaniannya, petambak dengan ilmu tambaknya, ustadz kampung dengan kajian agamanya, sineas jalanan dan kampung dengan kecerdasan keseniannya, mereka ahli, pandai, cerdas dan dapat diandalkan di bidangnya tapi di negeri ini mereka tak dapat tempat yang seharusnya, karena mereka tidak sekolah dan mendapat selembar ijazah.
Belum lagi, paradigma pendidikan bangsa ini belum juga tuntas, masa untuk 20% dari APBN, pendidikan kita belum juga terasa ada perbedaan, biaya pendidikan masih menjadi tanggungan yang memberatkan masyarakat. Dana alokasi anggaran pendidikan yang begitu besar tidak sampai pada masyarakat bawah. Mereka membocori dana disana-sini, di setiap jalur dan halte birokrasi. Sebesar apapun dana, sehebat apapun peraturan, sejujur apapun pemimpin, kalau paradigmanya adalah paradigma secarik kertas, sampai kapanpun pendidikan kita tidak akan berubah, sekolah adalah lembaga pembelenggu manusia.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate