Perempuan Mengangkat Pena
( Refleksi Peringatan Hari Ibu 22 Desember)
Hari
ini di seluruh penjuru dan pelosok
nusantara merayakan peringatan hari Ibu 22 Desember. Sebuah
peringatan terhadap peran seorang perempuan baik dalam keluarganya, suami, anak dan lingkungan sosialnya.
Ibu,
sebuah nama dan kata yang begitu berarti bagi setiap orang. Sosok yang telah
melahirkan kita ke dunia.
Tak ada jasa yang bisa terbalaskan atas semuanya yang telah ibu lakukan. Bagaimana
payah dan susahnya saat mengandung hingga mempertaruhkan nyawa saat melahirkan.
Inilah jasa yang takkan terbalaskan. Kasih sayangnya tak pernah putus meski
terkadang anaknya melakukan kesalahan. Sungguh tulus kasih sayangnya dan tak
berbalas.
Saat
momentum hari ibu
hadir, begitu banyak hal yang
dilakukan oleh kita.
Ada yang memberikan bunga, membuatkan kue, makan
malam atau bahkan hanya sekedar berkumpul sambil bersantai ria serta banyak
cara lainnya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberikan hadiah dan kado
terbaiknya untuk sosok yang tak tergantikan
itu.
Lalu di lain tempat, banyak orang yang mengenang momentum
ini dengan merefleksikan sosok ibu. Seminar, worskhop dan talkshow televisi,
dan acara publik lainnya. Umumnya, acara-acara ini didedikasikan untuk mencatat
betapa sungguh tak terkira perjuangan seorang ibu, yang hingga anaknya menjadi dewasa
pun, tak pernah berhenti untuk menemani dan membimbing putra-putrinya. Sudah
sewajarnya kita memberikan pengahargaan yang tak kira buat para ibu dan
perempuan-perempuan hebat di negeri ini.
22 Desember
Adanya peringatan Hari Ibu
Nasional awalnya
diusulkan saat pertemuan Kongres I
Perempuan Indonesia di
Yogyakarta pada tanggal 22- 25 Desember 1928. Acara ini dihadiri oleh 30 organisasi perempuan dari 12 wilayah di Jawa dan
Sumatera. Hasil dari kongres
tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini di kenal
dengan Kongres Wanita Indonsia (KOWANI).
Organisasi-organisasi
tersebut sebenarnya sudah ada sejak tahun 1912 yang mana diilhami oleh para pejuang perempuan seperti Martha
Cristin, R.A Kartini, Cut Nya Dien, Dewi
Sartika dan lain-lain. Namun Hari Ibu itu sendiri sebenarnya baru diputuskan
pada Kongres ke III pada tahun 1938. Di mana Hari Ibu itu
sendiri secara nasional diakui dalam Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu
yang diperingati dan rayakan secara
nasional sampai dengan saat ini .
Mengangkat Pena
Momentum
peringatan Hari Ibu memang
begitu ramai diperingati, bukan hanya di
lingkup keluarga, namun di kalangan masyarakat, mahasiswa dan semua elemen masyarakat lainnya. Mereka semua melakukan
banyak kegiatan yang berkaitan dengan
momentum ini. Sebuah hari yang membuka mata kita tentang sebuah perjuangan dan perjalanan panjang
perempuan. Ironisnya, perempuan-perempuan perkasa itu sepanjang
sejarah, bahkan mungkin sampai saat ini berada dalam
sisi gelap. Perempuan masih berada dalam
ruang marjinalisasi sebuah sistem yang
tak berpihak terhadap perempuan. Sistem
masyarakat patriarkhi
yang mengungkung perempuana.
Kita
perlu tahu bagaimana perjalanan panjang sejarah perjuangan perempuan tempo dulu. Hal ini dilakukan supaya kita
sebagai generasi
muda tahu dan mampu melakukan aktivitas yang meneruskan perjuangan
pahlawan-pahlawan perempuan yang sungguh luar biasa tersebut. Hingga akhirnya mengantarkan
perempuan pada masa kini untuk mampu
berperan dalam segala lini kehidupan. Perempuan tidak lagi hanya diposisikan
dan disibukan dalam urusan domestik (rumah
tangga). Juga untuk membebaskan perempuan apalagi hanya dengan stigma-stigma
negatif.
Perjuangan R.A. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya Dien dan
lain-lain, tak pernah berhenti. Api semangatnya
masih tetap menyala dan diteruskan oleh generasi muda hebat setelahnya. Kita
tahu bagaimana R.A. Kartini melalukan perlawanan dengan mengangkat pena melalui
surat-suratnya sebagai bentuk perjuangan akan ketidakberdayaan di lingkungan
keluarga dan budaya patriakhi saat itu. Surat R.A Kartini yang sering kita
dengar adalah “Habis Gelap Terbilah
Terang”, di mana isi surat-suratnya adalah tentang cita-cita untuk
memajukan kaum perempuan, harapan-harapannya dan perjalananya.
Tak sedikit perempuan-perempuan hebat yang telah
menorekan tinta dalam catatan sejarah di masa kini yang dengan gigih
memperjuangakan Hak asasi manusia
(HAM). Sebut saja di antaranya adalah Suciwati, istri dari almmarhum Munir,
aktivis pejuang HAM. Suci dengan gigih meneruskan perjuangan suaminya,
memastikan masyarakat Indonesia terjamin hak-hak dasarnya.
Ada juga Siti Musda Mulia, sosok perempuan asal Bone,
Sulawesi Selatan yang gigih memperjuangan kesetaran gender. Karya-karyanya
dalam bentuk buku cukup banyak seperti buku yang berjudul “ Kesetaraan dan Keadilan Gender Menurut Perspektif Islam”, “ Budaya Bisu Merendahkan Perempuan”, “Menuju Kemandirian Politik Perempuan”
dan berbagai karya lainnya yang memperjuangkan perempuan dengan torehan-torehan
pena.
Penulis kira, dengan torehan dan mengangkat pena inilah
kita mampu mengungkapkan apa yang menjadi keinginan dan hak perempuan yang
selama ini masih terabaikan. Kita bisa menulis karena dengan menulis kita
merdeka.
Dalam rangka reflekesi Hari Ibu, 22 Desember ini, penulis
mencoba membuka mata dan mengangkat pena bahwa gerakan dan perjuangan perempuan
perlu kita torehkan dengan pena. Tetesan pena adalah jejak langkah yang akan di
terus dibaca dan akan terus dilanjutkan oleh generasi perempuan ke depan.
Semangat dan kegigihan yang pernah ditorehkan oleh para pejuang
dan pahlawan perempuan dari Kongres III di Yogyakarta 1938 perlu kita ambil dan
kita jadikan cambuk penyemangat untuk terus bergerak dan berkiprah untuk
memajukan perempuan-perempuan di negeri tercinta ini. Demi menyongsong
kehidupan yang lebih bermartabat, menghargai dan menjunjung tinggi kesetaran
dan keadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil
gender. “Satu suara, satu perjuangan. Perempuan, raih hak-hak-mu! ”Wallahu a’lam”
*Penulis adalah Staff Institute Studi Islam Fahmina
(ISIF) dan Koordinator Komunitas Muda Bayt Al-Hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar