Media dan Keberagaman.
Rangkuman dari makalah Sejuk yang ditulis oleh Utsman Kansong. Media Indonesia.
Diaz.
Di
masa orde baru, pemerintah mengekang kebebasan Pers. Pers tidak leluasa
memberitakan keberagaman, pada masa itu pemerintah melarang pers untuk
memberitakan persoalan SARA.
Namun
di era reformasi pers merengkuh kebebasannya, dengan terbit undang-undang pers
no. 40 1991 pers terbit tanpa surat ijin penerbitan (SIUPP, pers bertumbuh bak
jamur, berbagai penerbitan pers muncul , mulai dari pers berbasis agama, umum
gosip, hingga pornografi.
Dalam
konteks keberagaman pers semestinya lebih leluasa, akan tetapi sebagian
peerbitan terutama yang berbasis Agama justru mengancam dan menolak
keberagamaandalam pemberitaannya.. pers umum yang semestinya berfungsi
mengcounter itupun justru turut terjebak dalam pemberitaan yang justru
mengancam keberagamaan.
Di
era reformasi pers berbasis agama muncul. Beberapa yang lahit antara lain
Sabili, Hidayah Suara Islam. Pembaca pers Islam terbilang besar hidayah
misalnya berdasarkan Media Planning Guide 2008 merupakan majalah dgn jumlah
pembaca terbesar 531.000.orang.
Hal
ini tidak terlepas dari fakta islam dengan jumlah pemeluk terbesar di
indonesia.
Namun
pers islam seringkali menyuarakan ancaman terhadap eksistensi islam. Ancaman
itu datang dari barat. Agama lain terutama kristen. Dan kelompok minoritas
islam yang menurut mereka mengancam akidah dan kemurnian agama islam.
Dari
perasaan itu timbul sikap defensif dalam pemberitaannya.yang bahkan bisa
menebarkan kebencian.
Tidak
seperti beberapa pers Islam, pers Mainstream seharusnya bisa memposisikan
secara tegas dalam membela keberagama. Akan tetapi mereka terkadang menjadi
Fobia jikalau memberikakan Isu yang mengandung SARA.. misalnya dengan
menghindari pemberitaaan konflik antar kelompok.
Pers
arus utama pun acapkali dituding bersikap rasis, diskriminatif, tidak berpihak
kepada kelompok minoritas tertindas. Ketidakpedulian itu bisa dilihat datri
penggunaan bahasa atau diksi yang tidak tepat dan cenderung diskriminatif. Absennya
pers dalam menampilkan keberagaman berujung pada anggapan bahwa alih-alih
mengedepankan keberagaman.pers justru memicu konfllik antar kelompok pers malah
menjadi jurnalis perang. Semua gejala ketidak berpihakan pers pada keberagamman
boleh jadi bersumber pada sikap wartawan kepada keberagaman itu sendiri.
Wartawan
dan Media
Wartawan
adalah gate keeper yang ikut menentukan hitam putih berita di media. Oleh
karena itu jika produk jurnalistik yang bermasalah dalam konteks keberagaman,
boleh jadi adalah sikap wartawan yang juga bermasalah dalam konteks tersebut
Yayasan
pantau melakukan penelitian tentang sejumlah isu keberagaman tterhadap 600
jurnalis. Di 16 provinsi pd pertengahan 2009. Sebagian besar (64,3%) jurnalis
setuju dengan pelarrangan ahmadiyah. Sebagian besar juga jurnalis mendukung UU
Antipornografi. 63,5% semua setuju dengan fatwa MUI. (Gatra 21 Sept 2011)
Waratawan
tentu saja tidakbisa melepaskan diri dari identitas pribadi dirinya, terutama
agama. Fenomena ini bisa menghasilkan berita yang bias dalam konteks
keberagaman. Alih-alih pro keberagaman produk yang dihasilkan para jurnalis
justru anti terhadap keberagaman.
Pers
kerap tidak tepat dalam memilih diksi dalam pemberitaan persoalan keberagaman.
Dalam kasus Ahmadiyah misalnya pers seringkali menggunakan kata “bentrokan,
sesat menyimpang dan bertobat.”
Dalam
kasus Cikeusik februari 2011 pers cenderung memilih kata bentrok atau bentrokan
bukan penyerangan. Padahal bentrok merupakan konflik antara dua kelompok yang
relatif setara kekuatannya. Dalam kasus Cikeusik jelas jemaatAhmadiyah
kekuatannya jauh lebih kecil dibanding kelompok penerang. Jadi jelas sekali
kasus Cikeusik yang terjadi adalah penyerangan bukan bentokan.
Seperti
yang telah disinggung di awal terkadang pers fobia terhadap isu SARA. Pers
kerap enggan memutar persoalan keberagaman atau konflik antar kelompok. Sebagai
contoh, Kompas tidak memuaat berita penyerangan Cikeusik. Padahal koran lain
menjadikan hal itu sebagai berita utama atau halaman depan. Kalaupun memuat
pers seringnya tidak proporsional dalam menampilkan beritanya dengan hanya
menampilkan berita secara ala kadarnya. Karena seringnya tidak bersikap
proporsional dalam menampilkan berita, akibaatnya korban malah bisa dijadikan
sebagai pelaku.
Pers
juga sering tidak konsisten mengawali peristiwa atau isu keberagaman. Pers
biasanya hanay memberitakan kejadiannya. Namun ketika peristiwa tersebut sampai
pada proses hukum pers hanya sesekali memberitakannya.
Memberi
panggung bagi kelompok Radikal
Pers
gemar memberi panggung terlampau luas pada aksi atau pendapat kelompok radikal.
Dilihat dari prinsip keberimbangan data, boleh jadi pemberian panggung benar
adanya, akan tetapi ketika panggung terlampau luas pers justru menyumbang
publikasi terhadap radikalisme.
Misalnya
dalam kasus pemakaman terpdana mati Bom bali pers memberitakan secara luas,
persoalannya dalam proses pemakaman para terpidana dielu-elukan bak pahlawan.
Padahal kita tahu mereka telah membunuh banyak manusia tak berdosa.
Tak
cukup dari itu pers malah membumbui pemberritaan itu dengan hal hal yang irasional
dan mendramatisasi.Pertanyaannya mungkinkah orang yang telah berbuat kerusakan
malah dieluelukan ssebagai mati syahid dan masuk surga. Bukankah itu bisa
memunculkan aksi-aksi radikal yang lebih besarlagi. Dan malah akan mendukung
lahirnya generasi baru bagi para teroris. Masalah radikalisme yang serius
dijadikan oleh media massa sebagai show hiburan semata. Perlu diketahui apa yang “disukai” pembaca tidaklah sama
dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar