Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Rabu, 07 Januari 2015

Media dan Keberagaman.



Media dan Keberagaman.
Rangkuman dari makalah Sejuk yang ditulis oleh Utsman Kansong.  Media Indonesia.
Diaz.
Di masa orde baru, pemerintah mengekang kebebasan Pers. Pers tidak leluasa memberitakan keberagaman, pada masa itu pemerintah melarang pers untuk memberitakan persoalan SARA.
Namun di era reformasi pers merengkuh kebebasannya, dengan terbit undang-undang pers no. 40 1991 pers terbit tanpa surat ijin penerbitan (SIUPP, pers bertumbuh bak jamur, berbagai penerbitan pers muncul , mulai dari pers berbasis agama, umum gosip, hingga pornografi.
Dalam konteks keberagaman pers semestinya lebih leluasa, akan tetapi sebagian peerbitan terutama yang berbasis Agama justru mengancam dan menolak keberagamaandalam pemberitaannya.. pers umum yang semestinya berfungsi mengcounter itupun justru turut terjebak dalam pemberitaan yang justru mengancam keberagamaan.
Di era reformasi pers berbasis agama muncul. Beberapa yang lahit antara lain Sabili, Hidayah Suara Islam. Pembaca pers Islam terbilang besar hidayah misalnya berdasarkan Media Planning Guide 2008 merupakan majalah dgn jumlah pembaca terbesar 531.000.orang.
Hal ini tidak terlepas dari fakta islam dengan jumlah pemeluk terbesar di indonesia.
Namun pers islam seringkali menyuarakan ancaman terhadap eksistensi islam. Ancaman itu datang dari barat. Agama lain terutama kristen. Dan kelompok minoritas islam yang menurut mereka mengancam akidah dan kemurnian agama islam.
Dari perasaan itu timbul sikap defensif dalam pemberitaannya.yang bahkan bisa menebarkan kebencian.
Tidak seperti beberapa pers Islam, pers Mainstream seharusnya bisa memposisikan secara tegas dalam membela keberagama. Akan tetapi mereka terkadang menjadi Fobia jikalau memberikakan Isu yang mengandung SARA.. misalnya dengan menghindari pemberitaaan konflik antar kelompok.
Pers arus utama pun acapkali dituding bersikap rasis, diskriminatif, tidak berpihak kepada kelompok minoritas tertindas. Ketidakpedulian itu bisa dilihat datri penggunaan bahasa atau diksi yang tidak tepat dan cenderung diskriminatif. Absennya pers dalam menampilkan keberagaman berujung pada anggapan bahwa alih-alih mengedepankan keberagaman.pers justru memicu konfllik antar kelompok pers malah menjadi jurnalis perang. Semua gejala ketidak berpihakan pers pada keberagamman boleh jadi bersumber pada sikap wartawan kepada keberagaman itu sendiri.

Wartawan dan Media
Wartawan adalah gate keeper yang ikut menentukan hitam putih berita di media. Oleh karena itu jika produk jurnalistik yang bermasalah dalam konteks keberagaman, boleh jadi adalah sikap wartawan yang juga bermasalah dalam konteks tersebut
Yayasan pantau melakukan penelitian tentang sejumlah isu keberagaman tterhadap 600 jurnalis. Di 16 provinsi pd pertengahan 2009. Sebagian besar (64,3%) jurnalis setuju dengan pelarrangan ahmadiyah. Sebagian besar juga jurnalis mendukung UU Antipornografi. 63,5% semua setuju dengan fatwa MUI. (Gatra 21 Sept 2011)
Waratawan tentu saja tidakbisa melepaskan diri dari identitas pribadi dirinya, terutama agama. Fenomena ini bisa menghasilkan berita yang bias dalam konteks keberagaman. Alih-alih pro keberagaman produk yang dihasilkan para jurnalis justru anti terhadap keberagaman.
Pers kerap tidak tepat dalam memilih diksi dalam pemberitaan persoalan keberagaman. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya pers seringkali menggunakan kata “bentrokan, sesat menyimpang dan bertobat.”
Dalam kasus Cikeusik februari 2011 pers cenderung memilih kata bentrok atau bentrokan bukan penyerangan. Padahal bentrok merupakan konflik antara dua kelompok yang relatif setara kekuatannya. Dalam kasus Cikeusik jelas jemaatAhmadiyah kekuatannya jauh lebih kecil dibanding kelompok penerang. Jadi jelas sekali kasus Cikeusik yang terjadi adalah penyerangan bukan bentokan.
Seperti yang telah disinggung di awal terkadang pers fobia terhadap isu SARA. Pers kerap enggan memutar persoalan keberagaman atau konflik antar kelompok. Sebagai contoh, Kompas tidak memuaat berita penyerangan Cikeusik. Padahal koran lain menjadikan hal itu sebagai berita utama atau halaman depan. Kalaupun memuat pers seringnya tidak proporsional dalam menampilkan beritanya dengan hanya menampilkan berita secara ala kadarnya. Karena seringnya tidak bersikap proporsional dalam menampilkan berita, akibaatnya korban malah bisa dijadikan sebagai pelaku.

Pers juga sering tidak konsisten mengawali peristiwa atau isu keberagaman. Pers biasanya hanay memberitakan kejadiannya. Namun ketika peristiwa tersebut sampai pada proses hukum pers hanya sesekali memberitakannya.

Memberi panggung bagi kelompok Radikal
Pers gemar memberi panggung terlampau luas pada aksi atau pendapat kelompok radikal. Dilihat dari prinsip keberimbangan data, boleh jadi pemberian panggung benar adanya, akan tetapi ketika panggung terlampau luas pers justru menyumbang publikasi terhadap radikalisme.
Misalnya dalam kasus pemakaman terpdana mati Bom bali pers memberitakan secara luas, persoalannya dalam proses pemakaman para terpidana dielu-elukan bak pahlawan. Padahal kita tahu mereka telah membunuh banyak manusia tak berdosa.
Tak cukup dari itu pers malah membumbui  pemberritaan itu dengan hal hal yang irasional dan mendramatisasi.Pertanyaannya mungkinkah orang yang telah berbuat kerusakan malah dieluelukan ssebagai mati syahid dan masuk surga. Bukankah itu bisa memunculkan aksi-aksi radikal yang lebih besarlagi. Dan malah akan mendukung lahirnya generasi baru bagi para teroris. Masalah radikalisme yang serius dijadikan oleh media massa sebagai show hiburan semata. Perlu diketahui  apa yang “disukai” pembaca tidaklah sama dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate