MENCERMATI
KORELASI BUSANA DAN POLITIK
Oleh:
Doddie Yulianto
“Ajining
raga saka busana, ajining diri kanthi budhi pakarti”
menghargai badan dari
busana, menghargai pribadi dengan budi pekerti
Dalam tiga bulan lebih
hingga saat ini, waktuku selalu dipenuhi pada satu hal BUSANA. Ya kebetulan
sekali aku mendapat kepercayaan terlibat dalam tim yang mendesain ulang busana
prajurit tiga keraton Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan), busana yang
akan digunakan untuk pertama kalinya pada tanggal 27 November dalam kirab
(devile) pasukan keraton memperingati hari Jadi Kota Cirebon yang memasuki usia
566 tahun. Demikianlah, rasanya lebih tepat jika apa yang kulakukan ini adalah
desain ulang, walaupun ingin sekali melakukan restorasi, mengembalikan pada
bentuk aslinya. Namun, kritik pun muncul dari sumber yang sangat patut
didengar, yaitu Rama Gusti ing Kasepuhan
Sultan Sepuh XIV PRA Arif Natadiningrat, “Anda mau mengabil referensi kostum di
zaman apa? Zaman Sinuhun Jati? Zaman Kesultanan? Jika kesultanan, zaman
kekuasaan siapa? Ingat Kasepuhan sudah berdiri begitu lama, dan lagi sumber
datanya apakah ada?”
Rentetan
pertanyaan beliau, Pegusten yang lenggah di Kasepuhan ini seakan
menamparku, karena data tentang busana begitu minim. Pak Dudung (Abdullah
Yuliarso), Produser acara ini (Kirab pasukan) semula menjanjikan setumpuk data
dari Leideen, Belanda, untuk dijadikan sumber utama. Inilah alasan utama kenapa
aku bersedia mengambil tawaran pekerjaan ini, mendapatkan sekeping puzzle dari sekian banyak kepingan yang
hilang, ini satu langkah maju guna menampakkan ujud Cirebon sebenarnya. Nyatanya
yang ia dapatkan di sana data visual (foto) abad akhir 19-an, tak lebih. Data
yang tak cukup kuat untuk dijadikan pijakan.
Keterbatasan
data tentang busana prajurit keraton, mengingatkan pada apa yang tertera dalam
Naskah Mertasinga dan Daghregister
VOC tahun 1650-an, dinyatakan jika Raja Cirebon Panembahan Ratu II (kelak dikenal
dengan nama Panembahan Girilaya) ditahan oleh Sunan Amangkurat II di Ibukota
Mataram berserta para pengiringnya, termasuk putranya Pangeran Martawijaya
(kelak menjadi Sultan Sepuh I Sultan Abul Makarim Muhammad Samsudin) dan
Pangeran Kertawijaya (kelak menjadi Sultan Anom I Sultan Abul Manakhir Muhammad
Badridin), mereka tidak boleh menggunakan busana kebangsawanan, dari mulai raja
sampai pengiring lapisan terbawah, tanpa terkecuali. Kebijakan Amangkurat itu seakan-akan
menunjukan kekuasaan Cirebon atas dirinya sendiri telah berakhir. Sangat terang
jika itu adalah bentuk regulasi politik dari pemegang penuh kekuasaan politik
untuk suatu simbol politik.
Hal
itu berpengaruh bagi busana serta regalia
di Cirebon. Sekarang tak ada satupun keraton di Cirebon yang menggunakan
Mahkota, paling banter Kanoman dan
Kacirebonan yang menggunakan kuluk (tarbus)
ala Mataram Islam, genuine Cirebonkah
itu? Silakan anda sendiri memberi penilaian.
Sedangkan
dari sebuah sumber disebutkan, ketika Ibukota Mataram terbakar akibat serangan
Den Maduretna Tumenggung Trunajaya dari Madura, ikut pula terbakar mahkota
Kerajaan Majapahit dari era Rajasanagara (Raden Wijaya) yang menjadi simbol
jika Mataram adalah penerus Majapahit, Demak, Pajang sebagai penguasa tertinggi
di pulau Jawa. Tunduknya Mataram Islam terhadap kekuatan asing, bisa kita lihat
pula dari busana, sebuah riwayat menyebutkan ketika Prabu Amangkurat III
dilantik ia memakai busana seragam militer admiral
Kerajaan Belanda.
Bahkan
hingga abad 21 sekarang busana dan remeh-temehnya menjadi salah satu
kelengkapan simbol politik, terutama
bagi negara-negara yang tetap mempertahankan bentuk kerajaan (monarki).
Namun relasi serta sinergi busana sebagai bagian kehidupan politik tidak hanya
monopoli penguasa semata, busana juga
menjadi simbol perlawanan atas tiran.
Para
pendukung gerakan People Power di
Pilipina yang bertujuan melawan Ferdinand Marcos, menandai dirinya dengan
busana berwarna kuning. Lain lagi di Thailand, di sana para pendukung Thaksin
Sinawatra melancarkan gerakan kaos merah, sebagai bentuk perlawanan atas
pelengseran Thaksin dari jabatan perdana mentri. Gerakan ini memuncak hingga
terjadinya pertumpahan darah. Kalau mau surut ke belakang dan lebih terasa bagi
kita orang Indonesia adalah penggunaan sarung oleh kaum santri. Hal itu tak
semata-mata menjaga tradisi, itu
merupakan simbol perjuangan anti penjajah Belanda. Pijakannya ada pada sebuah
hadis, “barangsiapa meniru sebuah kaum
maka ia menjadi bagian dari kaum tersebut.” dengan tidak meniru busana Welanda, tegasnya santri menolak apa
yang dilakukan penjajah dalam bentuk apapun, termasuk dalam hal berbusana. Ironis
sekali, salah seorang da’i kondang yang cukup ternama dalam sebuah reality show pemilihan da’i muda di
salah satu TV swasta, manakala mengomentari busana salah seorang kontestan,
“Dulu emang nggak ada celana makanya pakai sarung.” Ironis, orang yang menjadi bagian
gerakan tersebut tak memahami apa yang melatar belakangi sampai hal itu
terjadi.
Politik
pun menciptakan trend fashion, walau
pun semula - mungkin sekali – tak bertujuan untuk itu. Ketika Alm. Gus Dur
terpilih menjadi Presiden RI ke-4, beliau kerapkali memakai kemeja batik dengan
kerah rendah ala Cheong-Sam atau kerah Sanghai alias kerah kampret, busana
santri zaman baheula, motifnya
mengambil dua gaya batik yang di masa Soeharto hampir-hampir tak dilirik, Batik
Yogya dan Batik Cirebon. Maraklah permintaan kemeja batik ala Gus Dur dari
berbagai kalangan masyarakat, terutama kalangan birokrat dan kalangan menengah
ke atas. Apa yang menjadi pilihan fashion
stylish Gus Dur secara tak langsung turut berperan menghidupkan ekonomi
rakyat yang terpuruk oleh hempasan krisis ekonomi global. Ini sepertinya bukan
semata-mata dengan alasan mengikuti trend, tapi ada “pengikut” yang mencoba mengaktualisasikan
dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari Era Reformasi.
Jika
kita coba kaitkan dengan petatah-petitih yang ada di pembuka tulisan ini, maka
busana bisa - bahkan sering - menjadi parameter apa, siapa, kenapa, kapan, dan
bagaimana alasan “adanya seseorang” dalam masyarakat dari tampilan luarnya.
Mengingatkanku
akan judul kata pengantar yang ditulis Idi Subandy Ibrahim untuk terjemahan
buku David Chaney, Lifestyles;sebuah
pengantar komperhensif, terbitan Jalasutra, “Kamu bergaya, maka kamu ada!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar