Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Kamis, 08 Januari 2015

MENCERMATI KORELASI BUSANA DAN POLITIK

MENCERMATI KORELASI BUSANA DAN POLITIK
Oleh: Doddie Yulianto

“Ajining raga saka busana, ajining diri kanthi budhi pakarti”
menghargai badan dari busana, menghargai pribadi dengan budi pekerti
  
Dalam tiga bulan lebih hingga saat ini, waktuku selalu dipenuhi pada satu hal BUSANA. Ya kebetulan sekali aku mendapat kepercayaan terlibat dalam tim yang mendesain ulang busana prajurit tiga keraton Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan), busana yang akan digunakan untuk pertama kalinya pada tanggal 27 November dalam kirab (devile) pasukan keraton memperingati hari Jadi Kota Cirebon yang memasuki usia 566 tahun. Demikianlah, rasanya lebih tepat jika apa yang kulakukan ini adalah desain ulang, walaupun ingin sekali melakukan restorasi, mengembalikan pada bentuk aslinya. Namun, kritik pun muncul dari sumber yang sangat patut didengar, yaitu Rama Gusti ing Kasepuhan Sultan Sepuh XIV PRA Arif Natadiningrat, “Anda mau mengabil referensi kostum di zaman apa? Zaman Sinuhun Jati? Zaman Kesultanan? Jika kesultanan, zaman kekuasaan siapa? Ingat Kasepuhan sudah berdiri begitu lama, dan lagi sumber datanya apakah ada?”

Rentetan pertanyaan beliau, Pegusten yang lenggah di Kasepuhan ini seakan menamparku, karena data tentang busana begitu minim. Pak Dudung (Abdullah Yuliarso), Produser acara ini (Kirab pasukan) semula menjanjikan setumpuk data dari Leideen, Belanda, untuk dijadikan sumber utama. Inilah alasan utama kenapa aku bersedia mengambil tawaran pekerjaan ini, mendapatkan sekeping puzzle dari sekian banyak kepingan yang hilang, ini satu langkah maju guna menampakkan ujud Cirebon sebenarnya. Nyatanya yang ia dapatkan di sana data visual (foto) abad akhir 19-an, tak lebih. Data yang tak cukup kuat untuk dijadikan pijakan.
Keterbatasan data tentang busana prajurit keraton, mengingatkan pada apa yang tertera dalam Naskah Mertasinga dan Daghregister VOC tahun 1650-an, dinyatakan jika Raja Cirebon Panembahan Ratu II (kelak dikenal dengan nama Panembahan Girilaya) ditahan oleh Sunan Amangkurat II di Ibukota Mataram berserta para pengiringnya, termasuk putranya Pangeran Martawijaya (kelak menjadi Sultan Sepuh I Sultan Abul Makarim Muhammad Samsudin) dan Pangeran Kertawijaya (kelak menjadi Sultan Anom I Sultan Abul Manakhir Muhammad Badridin), mereka tidak boleh menggunakan busana kebangsawanan, dari mulai raja sampai pengiring lapisan terbawah, tanpa terkecuali. Kebijakan Amangkurat itu seakan-akan menunjukan kekuasaan Cirebon atas dirinya sendiri telah berakhir. Sangat terang jika itu adalah bentuk regulasi politik dari pemegang penuh kekuasaan politik untuk suatu simbol politik.  
Hal itu berpengaruh bagi busana serta regalia di Cirebon. Sekarang tak ada satupun keraton di Cirebon yang menggunakan Mahkota, paling banter Kanoman dan Kacirebonan yang menggunakan kuluk (tarbus) ala Mataram Islam, genuine Cirebonkah itu? Silakan anda sendiri memberi penilaian.
Sedangkan dari sebuah sumber disebutkan, ketika Ibukota Mataram terbakar akibat serangan Den Maduretna Tumenggung Trunajaya dari Madura, ikut pula terbakar mahkota Kerajaan Majapahit dari era Rajasanagara (Raden Wijaya) yang menjadi simbol jika Mataram adalah penerus Majapahit, Demak, Pajang sebagai penguasa tertinggi di pulau Jawa. Tunduknya Mataram Islam terhadap kekuatan asing, bisa kita lihat pula dari busana, sebuah riwayat menyebutkan ketika Prabu Amangkurat III dilantik ia memakai busana seragam militer admiral Kerajaan Belanda.        
Bahkan hingga abad 21 sekarang busana dan remeh-temehnya menjadi salah satu kelengkapan simbol politik, terutama  bagi negara-negara yang tetap mempertahankan bentuk kerajaan (monarki). Namun relasi serta sinergi busana sebagai bagian kehidupan politik tidak hanya monopoli penguasa semata,  busana juga menjadi simbol perlawanan atas tiran.
Para pendukung gerakan People Power di Pilipina yang bertujuan melawan Ferdinand Marcos, menandai dirinya dengan busana berwarna kuning. Lain lagi di Thailand, di sana para pendukung Thaksin Sinawatra melancarkan gerakan kaos merah, sebagai bentuk perlawanan atas pelengseran Thaksin dari jabatan perdana mentri. Gerakan ini memuncak hingga terjadinya pertumpahan darah. Kalau mau surut ke belakang dan lebih terasa bagi kita orang Indonesia adalah penggunaan sarung oleh kaum santri. Hal itu tak semata-mata  menjaga tradisi, itu merupakan simbol perjuangan anti penjajah Belanda. Pijakannya ada pada sebuah hadis, “barangsiapa meniru sebuah kaum maka ia menjadi bagian dari kaum tersebut.” dengan tidak meniru busana Welanda, tegasnya santri menolak apa yang dilakukan penjajah dalam bentuk apapun, termasuk dalam hal berbusana. Ironis sekali, salah seorang da’i kondang yang cukup ternama dalam sebuah reality show pemilihan da’i muda di salah satu TV swasta, manakala mengomentari busana salah seorang kontestan, “Dulu emang nggak ada celana makanya pakai sarung.” Ironis, orang yang menjadi bagian gerakan tersebut tak memahami apa yang melatar belakangi sampai hal itu terjadi.
Politik pun menciptakan trend fashion, walau pun semula - mungkin sekali – tak bertujuan untuk itu. Ketika Alm. Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4, beliau kerapkali memakai kemeja batik dengan kerah rendah ala Cheong-Sam atau kerah Sanghai alias kerah kampret, busana santri zaman baheula, motifnya mengambil dua gaya batik yang di masa Soeharto hampir-hampir tak dilirik, Batik Yogya dan Batik Cirebon. Maraklah permintaan kemeja batik ala Gus Dur dari berbagai kalangan masyarakat, terutama kalangan birokrat dan kalangan menengah ke atas. Apa yang menjadi pilihan fashion stylish Gus Dur secara tak langsung turut berperan menghidupkan ekonomi rakyat yang terpuruk oleh hempasan krisis ekonomi global. Ini sepertinya bukan semata-mata dengan alasan mengikuti trend, tapi ada  “pengikut” yang mencoba mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai bagian dari Era Reformasi.
Jika kita coba kaitkan dengan petatah-petitih yang ada di pembuka tulisan ini, maka busana bisa - bahkan sering - menjadi parameter apa, siapa, kenapa, kapan, dan bagaimana alasan “adanya seseorang” dalam masyarakat dari tampilan luarnya.
Mengingatkanku akan judul kata pengantar yang ditulis Idi Subandy Ibrahim untuk terjemahan buku David Chaney, Lifestyles;sebuah pengantar komperhensif, terbitan Jalasutra, “Kamu bergaya, maka kamu ada!”







         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate