Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Rabu, 07 Januari 2015

Dakwah PoP : Proses Penyadaran yang di setir



Dakwah PoP : Proses Penyadaran yang di setir
Oleh: Zaenal Abidin*
      “Pada tahun 1990-an kain atau atribut tanpa poster Gus Dur cukup sulit ditemui”.
            Dalam fikiran ini seolah ada yang mengganjal, ketika melihat fenomena-fenomena yang kiranya miris di benak ini. Kekerasan, kericuhan, keributan bahkan ejekan yang terlontar yang tak pelak merelakan pertumpahan darah, nyawa melayang, rumah hilang, kepercayaan tersudutkan, dan pelanggaran-pelanggaran norma social-keagamaan. Namun  hal itu terjadi bersamaan dengan strategi program dakwah dalam laku kultural bangsa ini yang begitu massiv, terutama di era pasca reformasi ini, ketika kran kebebasan begitu lebar terbuka nyaris tak terkendali. Namun dimana peran juru Dakwah selama ini? Yang senan tiasa begitu aktif melontarkan jargon-jargon agama, namun disadari atau tidak efek positif dalam keehidupan soisal kurang begitu kita rasakan.

            Kita pastinya tahu, program-proggram dakwah yang di agendakan setiap harinya oleh para industri pertelevisian nasional. Hampir disetiap waktunya program ini selalu disajikan, terutama pagi hari menjelang subuh, siang hari, sore hari menjelang magrib, mesikipun hanya beberpa menit saja. Bahkan kita dapat dengan mudah mngenali karakter dan ciri khas dari para dai trersebut sebut saja ustad GAUL, Mama Dudu, Ustad Copot, ustad Jamaah,,,, dan lain sebagainya.
            Tak mau kalah dengan pertelivisian, media elektronik semacam radio juga seolah tidak mau menyia-nyiakan momentem ini di berbagai acara selalu terselip ujaran-ujaran dakwah, tak arang mendatangkan tokoh-tokoh sekaliber dalang uje untuk TagShow, minimal di selingan pergantian iklan ataupun sebagai selingan  sang operator sementara pergi ke kamar kecil. Lebih ngeri lagi media cetak yang sekarang ini semakin menjamur terutama di daerah-daerah yang sedang berkembang Cirebon misalnya, banyak aran-aran baru. Muatan-muatan dakwah juga tak di kesampingkan, terbitan bernafaskan islam ini, diterbitkan dari mulai harian, dwi mingguan, perbulan, dwi bulanan, tri wulan. Atau bahkan pake media HP melaui telpon ataupun sms, bisa per detik, di pketkan setiap hari minggu,,, wah banyak lah pokonya.
            Begitupun sekarang ini, dakawah tidak hanya bergaung di masjid atau musolla, di kantor-kantor, di podium-podium bahkan di dunia maya ajakan kebaikan itu terngiang ditelinga kita. Seolah menjadi kebutuhan yang mendasar, sampai-sampai perusahaan besarpun mngagendakan setiap minggunya diadakan acara semacma itu. Semisal di desa saya yang terletak di desa Karangsuwung kec. Karangsembung Cirebon timur, stiap malam kamis diadakan pengajian bersama, istigosah dll tak jarang mendatangkan ulama dari luar daerah. Keren kan..
            Karena begitu populernya, para dai ini mulai berlomba-lomba memanjtapkan strategi dakwahnya dengan berbagai macam cara, dari mulai menunjukan kebolehannya dia bernyayi, ada pula yaang menunjukan kebolehan aktingnya, dari pembawaan dia yang bikin orang yang tadinya susah nangis jadi mbrebes mili , bikin ketawa, terkagum-kagum. Sampe adu atribut kostum. Seolah mereka lupa, bahwa mereka secara tak sadar sedang berebut audiens dakwah mereka, san merekapun mendapt pangsa pasarnya sendiri.
Dakwah Populer
            Islam sekarang ini dirasakan begitu membumi dan orang-orang sudah tak asing dengan kata-kata islami. Hal ini berkat kelihaian media dakwah sengan pendekatan populernya. Dakwah jadi terkesan selalu menarik di mata dan telinga kita. Wilayah dakwah menjadi meluas sepeti yang telah di paparkan diatas tadi.
            Nama islami begitu populer, ada musik islami, buku islami, alat komunkasi islami, pakaian islami, makanan islami, serba –serbi islami tidak berhenti diwilayah ini. Simbol keislaman bergerak dalam lorong-lorng historis yang mengesankan islam bisa hidup dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun.
            Pendekatan dakwah yang berbasis budaya pop ini, secara dzohir dirasakan begitu membumi dan begitu luwes barangkali bisa dikatakan mewakili ungkapan islam rahmatan lil`alamin, tidak anti dengan perkembangan zaman, lebih lunak dan dapat dengan mudah diterima kalangan masyarakat. Pandangan Barat islam itu identik dengan pedang dan irasional, namun dengan pendekatan dakwah pop  ini mulai menyadari bahwa islam itu toleran, rasional dlsb. Islam semakin mengglobal, namun tetap teguh dalam tatanan nilai universal-kemanusiaan-keislaman.
            Namu harapan itu tampaknya belum begitu tersalurkan secara nyata. Dakwah dengan pendekatan inni ternyata masih berada pada tataran tutur kata dan wacana, mengingat  budaya pop, dalam hal ini praktik-praktik keagamaan  yang banyak disukai orang  tutur Williams. Hal ini mengisyaratkan hal yang lebih dominan pada isyarat konsumtif dari hasrat keinginan sosial dalam tataran ego dan ambisi semata.
            Ktika musik bergenre regge laku di pasaran, beramai-ramai para musisi menciptakan musik seperti ini. Ketika novel dan bukuberkarakter religius laku di minati pasar, maka tak menunggu lama terbitan yang sama berikutnya berduyun mengikuti. Sama halnya ketika propesi dakwah dirasakan menjanjikan di minati pangsa pasar, berbondong-bondong masyarakat di sleksi menjadi dai yang sesuai kemauan pasar. Dan hal ini tidak akan berakhir sebelum genre-genre yang lebih baru dan menguntungkan itu muncul. Tak heran apabila M Abdullah Badri dalam tulisannya yang di muat di Majalah Manhaj menyebut fenomena ini sebagai tren lugu dakwah populer.
Kesadaran yang Ditentukan
            sulit kiranya membedakan secara ajeg, antara gerakan dakwah dan aktivitas ekonomi yang menggunakan pendekatan agama. Islam dalam konteks ini menjadi komoditas modal yang di gerakkan oleh tangan-tangan gaib industri dan si empunya industri. Dakwah pop disulap menjadi industri budaya berbasis agamis bin ekonomis. Menurut John Storey dalam bukunya Teori Budaya dan Budaya Pop, Industri budaya , menciptakan budaya yang ditandai dengan standarisasi , kemiripan, konservatisisme,  manupulasi.
Dampaknya dirasakan  masyarakat sendiri kita seolah digiring dan tidak dapat menentukan mana-mana yang harus kita pilih, konten dakwah yang kita butuhkan , selama ini berkisar pada tataran itu-itu saja tak jauh puasa, sodaqoh, solat. Ya memang itu yang di kehendaki pasar, kalo materi yang disampaikan njelimet sedikit rugilah mereka karana tau pola fikir masyarakat kita yang inginnya serba instan dan tidak mau berfikir secara mendalam. Bila ini beerlanjut dakwah semacam ini akan dirasakan hanya pada tataran permukaan, tidak dirasakan sehingga merubah prilaku sosial menjadi lebih baik. Dakwah dijalankan sebatas orientasi mental sesaat, sirat ayat yang menjanjikan perubahan diadikan alat pemanis. Sungguh ironi.
Pendeknya industri budaya mengecilkan hati masyarakat untuk berfikir diluar batasan yang ada.  Bahkan industri “dakwah” ini mengakibatkan mengubah prilaku kita, intelektual kita dan emosional kita diikat oleh ketergantungan yang sebenarnya kita tidak butuh. Kita lihat realitas sekarang, acara tagshow yang di isi oleh para dai kita, semuanya penuh dihadiri jamaahnya. Di acara-acara tertentu jamaah begitu bersemangat melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar agama, dan sang dai menjawab dengan tegas pertanyaan itu. Tak mau kalah dengan sang dai, para jamaah memakai busana yang seragam berwarna-warni.
Dari sekian pertanyaan tidak menjurus pada permasalahan sosial yang sedang mendesak terjadi sekarang ini, karna memang materi yang disampaikan juga tidak memadai untuk itu. Akibat berikutnya  kehidupan spiritual kita menjadi latah. Terjebak oleh simbol-simbol keagamaan, yang tidak didasari kesadaran akan esensi simbol tersebut. Sehingga dengan mudah kita di peralathanya dengan iming-iming ayat dan atribut kita sudah terlena tanpa mengetahui maksud apa di balik itu semua. Contoh saja calon pejabat kita, ketika akan mencalon dalam pidatonya ia mengumbar kedermawanan, kesalhan, namun nyatanya ia tidak sepenuh hati mengamalkan apa yang ia katakan dan janikan.
Kita kadang sulit membedakan apakah simbol, atribut yang kita pakai itu menjadi tanda komitmen keagamaan revolusioner? ataukah suatu komitmen pada mode fesyen , atau kah kedua-duanya?.
Pada saat ini kita berada pada posisi yang terhegemoni, ummat sekarang di giring dan di arahkan oleh kelas dominan melalui pemaksaan kepemimpinan moral (agama), dan intelektual. Dalam pembahasan ini proses pembentukan industri dakwah pop ini, berkembang mmenjadi budaya komersial, yang terlahir dari budaya industri yang begitu kuat di negara ini, kemudian diarahkan kembali melalui strategi seleksi konsumsi. Para dai yang dulu terkenal dengan ciri khasnya, lama kelamaan hilang nama dan pamornya hilang seiring bermunculan  sosok dai baru yang lebih menjanjikan bagi para produsen industri religi. Juga diarahkan kembali pada artikulasi yang seringkali tidak disengaja atau yang sudah diramalkan produsen. Banyak pula dai yang tidak tau ujug-ujug ramai didunia maya karena gayanya yang nyentrik, dan melihat pangsa pasar yang begitu menggiurkan maka strategi di lancarkan jadilah ia dai terkenal.
Dengan analisis neo-Gramscian ini budaya pop tidak lain kecuali tindakan konsumsi aktif masyarakat terhadap teks dan praktik-praktik yang dilancarkan industri budaya. Kaitannya dengan hal ini jmelas mereka tidak memikirkan konten apa yang di bawakan oleh sang dai, mereka hanya melihat ketika menguntungkan dan disukai masyarakat mereka akan manfaatkan. Tak heran jika bermunulan dai-dai yang rasanya tidak pantas di sebut sebagai ustad maupun kiai.
Para dai perlu pembekalan keilmuan yang m,emadai yang didasarkan pada kebutuhan rohani dan jasmani ummat, tidak sekedar pemuas moral namun sebagai pembvaharu yang dapat menyampaikan permasalahan ummat secara mendasar dan memberikan pencerahan, pemahaman yang kuat. Tidak hanya itu kita sebagai masyarakat jangan terjebak oleh strategi pasar yang efeknya akan merugikan kita.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan ini semua, namun dari hati yang paling dalam kita perlu tanamkan kesadaran kita, kesadaran yang tidak disetir oleh orang lain namun disetir oleh diri sendiri karena Tuhan bukan yang lain. Wallahu `alam Bis showab.
*Penulis, mahasiswa ISIF Cirebon
FUD. Prodi Pemikiran Islam

           


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate