Dakwah PoP :
Proses Penyadaran yang di setir
Oleh: Zaenal
Abidin*
“Pada tahun 1990-an kain atau atribut
tanpa poster Gus Dur cukup sulit ditemui”.
Dalam fikiran ini seolah ada yang
mengganjal, ketika melihat fenomena-fenomena yang kiranya miris di benak ini.
Kekerasan, kericuhan, keributan bahkan ejekan yang terlontar yang tak pelak
merelakan pertumpahan darah, nyawa melayang, rumah hilang, kepercayaan
tersudutkan, dan pelanggaran-pelanggaran norma social-keagamaan. Namun hal itu terjadi bersamaan dengan strategi
program dakwah dalam laku kultural bangsa ini yang begitu massiv, terutama di
era pasca reformasi ini, ketika kran kebebasan begitu lebar terbuka nyaris tak
terkendali. Namun dimana peran juru Dakwah selama ini? Yang senan tiasa begitu
aktif melontarkan jargon-jargon agama, namun disadari atau tidak efek positif
dalam keehidupan soisal kurang begitu kita rasakan.
Kita
pastinya tahu, program-proggram dakwah yang di agendakan setiap harinya oleh
para industri pertelevisian nasional. Hampir disetiap waktunya program ini selalu
disajikan, terutama pagi hari menjelang subuh, siang hari, sore hari menjelang
magrib, mesikipun hanya beberpa menit saja. Bahkan kita dapat dengan mudah
mngenali karakter dan ciri khas dari para dai trersebut sebut saja ustad GAUL,
Mama Dudu, Ustad Copot, ustad Jamaah,,,, dan lain sebagainya.
Tak
mau kalah dengan pertelivisian, media elektronik semacam radio juga seolah
tidak mau menyia-nyiakan momentem ini di berbagai acara selalu terselip
ujaran-ujaran dakwah, tak arang mendatangkan tokoh-tokoh sekaliber dalang uje
untuk TagShow, minimal di selingan pergantian iklan ataupun sebagai selingan sang operator sementara pergi ke kamar kecil.
Lebih ngeri lagi media cetak yang sekarang ini semakin menjamur terutama di
daerah-daerah yang sedang berkembang Cirebon misalnya, banyak aran-aran baru.
Muatan-muatan dakwah juga tak di kesampingkan, terbitan bernafaskan islam ini, diterbitkan
dari mulai harian, dwi mingguan, perbulan, dwi bulanan, tri wulan. Atau bahkan
pake media HP melaui telpon ataupun sms, bisa per detik, di pketkan setiap hari
minggu,,, wah banyak lah pokonya.
Begitupun
sekarang ini, dakawah tidak hanya bergaung di masjid atau musolla, di kantor-kantor,
di podium-podium bahkan di dunia maya ajakan kebaikan itu terngiang ditelinga
kita. Seolah menjadi kebutuhan yang mendasar, sampai-sampai perusahaan besarpun
mngagendakan setiap minggunya diadakan acara semacma itu. Semisal di desa saya
yang terletak di desa Karangsuwung kec. Karangsembung Cirebon timur, stiap
malam kamis diadakan pengajian bersama, istigosah dll tak jarang mendatangkan
ulama dari luar daerah. Keren kan..
Karena
begitu populernya, para dai ini mulai berlomba-lomba memanjtapkan strategi
dakwahnya dengan berbagai macam cara, dari mulai menunjukan kebolehannya dia
bernyayi, ada pula yaang menunjukan kebolehan aktingnya, dari pembawaan dia
yang bikin orang yang tadinya susah nangis jadi mbrebes mili , bikin ketawa, terkagum-kagum. Sampe adu atribut
kostum. Seolah mereka lupa, bahwa mereka secara tak sadar sedang berebut
audiens dakwah mereka, san merekapun mendapt pangsa pasarnya sendiri.
Dakwah Populer
Islam sekarang ini dirasakan begitu
membumi dan orang-orang sudah tak asing dengan kata-kata islami. Hal ini berkat
kelihaian media dakwah sengan pendekatan populernya. Dakwah jadi terkesan
selalu menarik di mata dan telinga kita. Wilayah dakwah menjadi meluas sepeti
yang telah di paparkan diatas tadi.
Nama
islami begitu populer, ada musik islami, buku islami, alat komunkasi islami,
pakaian islami, makanan islami, serba –serbi islami tidak berhenti diwilayah
ini. Simbol keislaman bergerak dalam lorong-lorng historis yang mengesankan
islam bisa hidup dimanapun, kapanpun, dalam kondisi apapun.
Pendekatan
dakwah yang berbasis budaya pop ini, secara dzohir dirasakan begitu membumi dan
begitu luwes barangkali bisa dikatakan mewakili ungkapan islam rahmatan lil`alamin, tidak anti dengan perkembangan zaman,
lebih lunak dan dapat dengan mudah diterima kalangan masyarakat. Pandangan
Barat islam itu identik dengan pedang dan irasional, namun dengan pendekatan
dakwah pop ini mulai menyadari bahwa
islam itu toleran, rasional dlsb. Islam semakin mengglobal, namun tetap teguh
dalam tatanan nilai universal-kemanusiaan-keislaman.
Namu
harapan itu tampaknya belum begitu tersalurkan secara nyata. Dakwah dengan
pendekatan inni ternyata masih berada pada tataran tutur kata dan wacana,
mengingat budaya pop, dalam hal ini
praktik-praktik keagamaan yang banyak
disukai orang tutur Williams. Hal ini
mengisyaratkan hal yang lebih dominan pada isyarat konsumtif dari hasrat
keinginan sosial dalam tataran ego dan ambisi semata.
Ktika
musik bergenre regge laku di pasaran, beramai-ramai para musisi menciptakan
musik seperti ini. Ketika novel dan bukuberkarakter religius laku di minati
pasar, maka tak menunggu lama terbitan yang sama berikutnya berduyun mengikuti.
Sama halnya ketika propesi dakwah dirasakan menjanjikan di minati pangsa pasar,
berbondong-bondong masyarakat di sleksi menjadi dai yang sesuai kemauan pasar.
Dan hal ini tidak akan berakhir sebelum genre-genre yang lebih baru dan
menguntungkan itu muncul. Tak heran apabila M Abdullah Badri dalam tulisannya
yang di muat di Majalah Manhaj menyebut fenomena ini sebagai tren lugu dakwah
populer.
Kesadaran yang
Ditentukan
sulit kiranya membedakan secara
ajeg, antara gerakan dakwah dan aktivitas ekonomi yang menggunakan pendekatan
agama. Islam dalam konteks ini menjadi komoditas modal yang di gerakkan oleh
tangan-tangan gaib industri dan si empunya industri. Dakwah pop disulap menjadi
industri budaya berbasis agamis bin ekonomis. Menurut John Storey dalam bukunya
Teori Budaya dan Budaya Pop, Industri budaya , menciptakan budaya yang ditandai
dengan standarisasi , kemiripan, konservatisisme, manupulasi.
Dampaknya dirasakan masyarakat sendiri kita seolah digiring dan
tidak dapat menentukan mana-mana yang harus kita pilih, konten dakwah yang kita
butuhkan , selama ini berkisar pada tataran itu-itu saja tak jauh puasa,
sodaqoh, solat. Ya memang itu yang di kehendaki pasar, kalo materi yang
disampaikan njelimet sedikit rugilah
mereka karana tau pola fikir masyarakat kita yang inginnya serba instan dan
tidak mau berfikir secara mendalam. Bila ini beerlanjut dakwah semacam ini akan
dirasakan hanya pada tataran permukaan, tidak dirasakan sehingga merubah
prilaku sosial menjadi lebih baik. Dakwah dijalankan sebatas orientasi mental
sesaat, sirat ayat yang menjanjikan perubahan diadikan alat pemanis. Sungguh
ironi.
Pendeknya industri budaya
mengecilkan hati masyarakat untuk berfikir diluar batasan yang ada. Bahkan industri “dakwah” ini mengakibatkan
mengubah prilaku kita, intelektual kita dan emosional kita diikat oleh
ketergantungan yang sebenarnya kita tidak butuh. Kita lihat realitas sekarang,
acara tagshow yang di isi oleh para dai kita, semuanya penuh dihadiri jamaahnya.
Di acara-acara tertentu jamaah begitu bersemangat melontarkan pertanyaan-pertanyaan
seputar agama, dan sang dai menjawab dengan tegas pertanyaan itu. Tak mau kalah
dengan sang dai, para jamaah memakai busana yang seragam berwarna-warni.
Dari sekian pertanyaan tidak
menjurus pada permasalahan sosial yang sedang mendesak terjadi sekarang ini,
karna memang materi yang disampaikan juga tidak memadai untuk itu. Akibat
berikutnya kehidupan spiritual kita
menjadi latah. Terjebak oleh simbol-simbol keagamaan, yang tidak didasari
kesadaran akan esensi simbol tersebut. Sehingga dengan mudah kita di peralathanya
dengan iming-iming ayat dan atribut kita sudah terlena tanpa mengetahui maksud
apa di balik itu semua. Contoh saja calon pejabat kita, ketika akan mencalon
dalam pidatonya ia mengumbar kedermawanan, kesalhan, namun nyatanya ia tidak
sepenuh hati mengamalkan apa yang ia katakan dan janikan.
Kita kadang sulit membedakan apakah
simbol, atribut yang kita pakai itu menjadi tanda komitmen keagamaan
revolusioner? ataukah suatu komitmen pada mode fesyen , atau kah kedua-duanya?.
Pada saat ini kita berada pada
posisi yang terhegemoni, ummat sekarang di giring dan di arahkan oleh kelas
dominan melalui pemaksaan kepemimpinan moral (agama), dan intelektual. Dalam
pembahasan ini proses pembentukan industri dakwah pop ini, berkembang mmenjadi
budaya komersial, yang terlahir dari budaya industri yang begitu kuat di negara
ini, kemudian diarahkan kembali melalui strategi seleksi konsumsi. Para dai
yang dulu terkenal dengan ciri khasnya, lama kelamaan hilang nama dan pamornya
hilang seiring bermunculan sosok dai
baru yang lebih menjanjikan bagi para produsen industri religi. Juga diarahkan
kembali pada artikulasi yang seringkali tidak disengaja atau yang sudah
diramalkan produsen. Banyak pula dai yang tidak tau ujug-ujug ramai didunia
maya karena gayanya yang nyentrik, dan melihat pangsa pasar yang begitu
menggiurkan maka strategi di lancarkan jadilah ia dai terkenal.
Dengan analisis neo-Gramscian ini
budaya pop tidak lain kecuali tindakan konsumsi aktif masyarakat terhadap teks
dan praktik-praktik yang dilancarkan industri budaya. Kaitannya dengan hal ini
jmelas mereka tidak memikirkan konten apa yang di bawakan oleh sang dai, mereka
hanya melihat ketika menguntungkan dan disukai masyarakat mereka akan
manfaatkan. Tak heran jika bermunulan dai-dai yang rasanya tidak pantas di
sebut sebagai ustad maupun kiai.
Para dai perlu pembekalan keilmuan
yang m,emadai yang didasarkan pada kebutuhan rohani dan jasmani ummat, tidak
sekedar pemuas moral namun sebagai pembvaharu yang dapat menyampaikan permasalahan
ummat secara mendasar dan memberikan pencerahan, pemahaman yang kuat. Tidak
hanya itu kita sebagai masyarakat jangan terjebak oleh strategi pasar yang
efeknya akan merugikan kita.
Memang tidak mudah untuk mewujudkan
ini semua, namun dari hati yang paling dalam kita perlu tanamkan kesadaran
kita, kesadaran yang tidak disetir oleh orang lain namun disetir oleh diri
sendiri karena Tuhan bukan yang lain. Wallahu
`alam Bis showab.
*Penulis, mahasiswa ISIF Cirebon
FUD. Prodi Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar