Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Selasa, 13 Januari 2015

Agama Sipil : Perwujudan Nilai Kebangsaan Telaah Sosiologi



Agama Sipil : Perwujudan Nilai Kebangsaan Telaah Sosiologi
Oleh : Zaenal Abidin*
            Pembahasan mengenai kehidupan beragama sekiranya sangat komplek, apalagi kita membicarakan, mempertanyakan eksistensi dan membahas kembali konsepsi Agama itu sendiri. Dalam konteks keindonesiaan, dan dengan segala keunikan dan kemajemukan manusia indonesia begituhalnya dengan kehidupan keberagamaannya. Agama di negara kita Indonesia memegang perananan yang sangat pentingdalam kehidupan masyarakatnya. Sepertinya kita sudah menyadari keberagaman itu, namun tak jarak konflik antar umat bergama tak dapat terelakan dari kenyataannya.

Sejak dulu nenek moyang kita sudah terbiasa hidup dengan masyarakat yang plural, apalagi sekarang. Kran demokrasi yang digadang-gadang mampu mengafirmasi semua pemahaman dan aliran, kiranya kini membuahkan hasil. Kesuksesan demokrasi di indonesia membawa permaslahan tersendiri yang harus kita atasi bersama. permasalahannya semakin kompleks, pluralisme agama yang ada di indonesia boleh dibilang sedang mengalami kegamangan, di satu sisi memperjuangkan keberagaman, di sampinglain berusaha mempertahankan identitas diri diatas kemajemukan pemahaman.

Tak jarang keadaan ini membawa arus pada pemahaman yang bersifat ekslusif atau sikap yang menganggap agama atau pemahaman kelmpok tertentu yang paling benar dan pengakuan terhadap yang lain sebaliknya dianggap menyimpang. Sikap ini menggiring pada sikap inklusivisme yang merupakan sikap tertutup terhadap pemahaman agama lain, hal ini tidak bsa dielakkan dalam rangka eksistensi dan resistensi terhadap kemajemukan tadi.    
Indonesia kini mengalami krisis fundamental, seperti krisis ekonomi, ekologi, politik dan budaya bahkan jati diri bangsa. Penganguran dimana-mana, kemiskinan, kelaparan, bencana alam, pemerkosaan negara (korupsi), dan penghancuran tradisi-tradis lokal. Mimpi dan harapan menjadi warga negara yang hidup rukun, makmur, adil dan bermartabat di balut dengan kesejahteraan sosial menjadi semakin kabur. Lambat laun ketidakjelasan ini membuat kita sebgai masyarakat menjadi bosan dengan apa yang sudah kita perbuat selama ini dan ingin mencari sesuatu yang dapat menjamin dan mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Agama seringkali dianggap sebagai pemicu konflik yang terjadi dalam masyarakat. Agama sendiri sudah menjadi persoalan publik dan karenanya negara sebagai institusi legal-formal yang mengatur dan mengendalikan kehiduan publik menjadi sangat penting. Dalam rangka mengcounter problem dan mewujudkan mimpi itu peraturan dibut berdasarkan kesepakatan dan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua masyarakat.
Agama Sipil (Sipil Religion)
            Agama menjadi wacana tersendiri dalam kajian sosiologis, tokoh-tokoh seperti Coumte, Durkheim, Marx dan Weber sering mengacu pada wacana teologis dalam analisisnya. Auguste Comte dan Henri Saint Simon, dianggap sebagai bapak pendiri sosiologi. Comte beranggapan sosiologi tidak berbeda dengan ilmu alam, dan merupakan bagian darinya. Sehingga observasi empiris menjadi dasar kuat untuk mencari dan memunckan kajian yang rasionalis dan positivistik mengenai kehidupan sosial dan akan memberikan sumbangsih dalam ilmu kemasyarakatan. Didalam masyarakat pramodern, konsepsi teologis mengenai “ada ketuhanan” (devine being) yang digambarkan kedalam keteraturan kosmos dan alam termasuk sejarah kelompok suku, memberikan dasar bagi hirearki dan aturan moral. Menurut Bryan Wilson,  dalam masyarakat modern, sosiologi menjelma sebagai teologi bahkan menggantikan perannya sebagai sumber prinsip-prinsip penuntun kehidupan sosial. Bentuk positivistik seperti ini berimbas pada hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku keyakinan dalam masyarakat modern.
            Disamping Coumte, sosiolog ain seperti Emile Dukrkheim menawarakn ulasan yang menurut Peter Connolli evolusioner mengenai masyarakat manusia, dari masyarakat kesukuan kepada masyarakat republik, dari magis kepada raionalis, yang menggambarkan adanya ulasan mengenai kemunduran ritual dan dogma keagamaan secara sedikit demi sedikit. Fokus sosiologi agama Durkheim adalah mengenai fungsi agama dalam menjembatani ketegangan yang mempengaruhi antara praktik religius, keyakinan dan watak kesukuan dalam menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan hidup masyarakatnya tatkala ada tantangan yang mengancam eksistensi hidupnya dari dalam maupun luar lingkungan suku atau masyarakatnya.
            Menurut Dukheim agama mampu menyatukan anggota  masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka (umat bergama) dalam kosmis (alam semesta), sejarah, dan tujuan dalam keteraturan kehidupan.  Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang terbangun dengan masyarakat.  Oleh karenanya dapat di tarik pengertian, bahwa agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat kedalam suatu proyek sosial bersama, sekumpulan nilai, dan tujuan sosial bersama.
            Kaitannya dengan agama sipil (civil religion), bayangan saya sebelum mebaca mungkin sama dengan teman-teman, agama sipil ini meru pakanagama baru dalam artian setara dengan agama konvensional yang diakui negara. Pengertian agam sipil sendiri bermacam-macam. Agam sipil pertama kali di kenalkan oleh jean jaques Rosseau dalam bukunya On Social Contract didalamnya ia membagi peran agama menjadi dua yaitu pertama agama manusia yakni sebagai religion of gospel atau agama kitab suci bisa dikatakan agama yang menekankan moralitas dan penyembahan terhadap Tuhan, kedua agama masyarakat merupakan agama sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa, yang terikat dengan dogma-dogma , ritus, ibadat yang diatur undang-undang negara. Diskursus ini terdengar gaungnya, ketika Robert Bellah seoranga agamawan Amerika, ketika ia memperhatikan pidato plantikan Presiden john F Kennedy yang menyebut nama tuhan sebanyak tiga kali, penyebutan tu tidak ditunjukkan pada agama atau kepercayaan tertentu karena ia hanya mengacu pada konsep Tuhan, sebuah kata yang dapat di terima oleh hampir semua orang Amerika. Dimensi keagaaan publik ini di ekspresikan dalam sepersngkat keyakinan, simbol, dan rituak yang Bellah sebut Agama Sipil Amerika.
            Dari pengertian diatas, Andrew Shanks dalam bukunya Civil Rreligion cukup berbeda dalam mengartikan agama sipil, ia beranggapan bahwa agam sipil bukanlah agama sesunguhnya seperti praktek religius yang ada, pun tidak bersaing dengan tradisi-tradisi religius agama yang kita yakini. Melainkan agama sipil mencair dalm kehidupan beragama dan mendobrak ikatan-ikatan.  Dikatakan Agama bukan berarti menghalangi ritus keagamaan yang sudah dianut, melainkan mencoba mengkonsepsikan kehiduap bergama yang berorientasi pada kehidupan masyarkat umum.
            Agama sipil dalam pengertian Shanks menjadi sebuah displin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan memori yang terpecah belah oleh masa lalu, sehingga mampu membuka kemungkinan ditemapanya ikatan-ikatan solidaritas baru yang mana solidaritas yang dihasilkan adalah solidaritas yang mampu melampaui perbedaan antara orangberiman dan tidak beriman, teis dan ateis. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.
Perwujudan nilai kebangsaan
            Dalam pengertian Andrew Shanks diatas, agama sipil bukanlah aagama yang memiliki identitliturgis seperti agama konfensional. Namun agama sipil merupakan sebutan bagi praktek masyarakat sebagai warga negara yang berusaha mewujudkan kehidupan yag lebih baik dengan unsur-unsur relgius masing-masing warga dalam keyakinannya terhadap agama masing-masing. Agam Sipil sendiri sejauh yang dapat difahami muncul dari berbagai ekspresi beragamaan foramal. Semangat beraagama itulah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
            Dalam konteks Indonesia, secara tidak langsung sudah menerapkan konsep agama sipil. Hal itu tertuang dalam unsur-unsur yang termuat dalam teks UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar negara. Demokratisasi seringkali memunculkan suasana konfliktual antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 yaitu ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka sesungguhnya agama dan negara  memiliki relasi dalam coraknya yang simbiosis. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Di dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 meyatakan dengan jelas bahwa keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap masyarakat Indonesia dalam membangusn bangsa dan negara.
            Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”.
Sumbangan individu-individu itu kemudian disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion dapat  berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat atau pun  satu kelompok agama atas lainnya.
Pancasila sendiri disebut sebagai agama sipil, dalam pengertian menjadi perekat dari semua elemen bangsa. Untuk itu perlunya “agama umum” sebagai dasar integrasi bangsa, yaitu suatu “agama rakyat” yang sifatnya umum dan terbuka, yang kelak dinamakan “agama sipil.” Pada setiap  masyarakat, komunitas dan setiap orang memakai nilai-nilai kebersamaan yang universal berdasarkan common sense. Civil religion juga dapat diartikan sebagai “suatu perangkat umum ide, ritual, simbol yang memberi arah pada pengertian kesatuan,” yang dinamakannya “agama umum.” Melalui tangan Robert N. Bellah, agama sipil disistematisasi secara bertahap, sehingga dengan mempelajari elemen-elemenya berdasarkan sumpah Presiden dan sejarah bangsa Amerika dan hari-hari besar bangsa tersebut, yang akhirnya menjadi dimensi agama dalam kehidupan politik negara Amerika.
Berdasarkan pemikiran intelektual, agama sipil adalah realitas transenden. Agama sipil adalah suatu symbol hubungan antara warganegara dengan waktu dan tempat serta sejarah bangsa tersebut di bawah pengertian ultimate reality. Dari tolehan filosofis, agama sipil dibawa ke dalam masyarakat menjadi “pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik.” Suatu  filsafat hidup yang mengayomi semua warganegara yang  berbeda secara etnis dan agama. Jadi agama sipil adalah suatu gaya hidup berbangsa yang majemuk dalam agama dan menghisap semua agama formal yang ada. Yang mencoba mengilhami nilai-nilai kebangsaan dari suatu negara.
            Kini sebagai warga negara yang mngaku beragama, berkeyainan atau berpenghayat.yang bernyawa. Sudah saatnya kita kembali kepada nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan, menguatkan identitas bangsa ini. Yang selama ini agama menjadi biang konflik kini ciptakan agama yang penuh simpatik empatik.



Buku Bacaan
Shanks, Adrian, Agama Sipil Civil Religion, Yogyakarta: Jaklasutra Yogyakarta, 2003
Connolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS  Yogyakarta, cet. 2011
Abdullah Taufik, A.C Van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986
http://muhammadqorib.blogspot.com/2009/12/eksistensi-civil-religion.html






*Penulis Mahasiswa ISIF Cirebon Jurusan Filsafat Agama



             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate