BERAKHIRNYA FILSAFAT?:
REKONSTRUKSI MENUJU
FILSAFAT YANG BERKONTEKS
(Refleksi tiga setengah tahun mengembara
di Jurusan Pemikiran Islam, Fakultas
Ushuludin Institut Studi Islam Fahmina Cirebon. Semoga Selamat Sampai Wisuda
{S3W}!)
Judul besar di atas adalah judul sebuah buku
terbitan Kanisius Yogyakarta yang beberapa tahun lalu saya baca. Dengan modal
meminjam dari perpustakaan 400 Kota Cirebon, buku tersebut berhasil membuat
saya kebingungan dan penasaran. Sebuah wacana baru yang njelimet memang perlu banyak waktu untuk diendapkan dan
berinkubasi.
Hingga baru beberapa saat yang lalu, saya kembali
terbujuk provokasi buku tersebut dengan semakin banyak menjumpai realitas yang berbeda dan bergumul dengan keragaman fakta serta
fenomena. Dari situ mulai ada keyakinan bahwa filsafat yang saya pelajari
mempunyai keterbatasan yang dipaksakan.
Filsafat yang saya pelajari selalu menawarkan
pemikiran akan realitas. Tapi tawaran itu terbatas pada wilayah kesadaran. Di
luar wilayah itu, filsafat tidak bisa masuk. Padahal dalam kehidupan, realitas
menampakan diri baik dalam kesadaran maupun ketidaksadaran. Peristiwa seperti
mimpi, skizofernia, inflasi, adalah wilayah ketidaksadaran yang saat-saat
sekarang menjadi kebingungan filsuf. Belum lagi ada beberapa realitas
keseharian yang sebenarnya masuk dalam wilayah kesadaran tapi selalu absurd
dalam teks-teks filsafat. Kadang dia tidak muncul sama sekali.
Di dalam pengembaraan, para filsuf tidak
menyadari satu hal penting dari kehidupan. Dia adalah kebutuhan pokok manusia
untuk makan (untuk survive), karena
siapapun tunduk pada takdir manusia tersebut. Tapi seringkali ini dianggap
sebagai kelumrahan yang fatalnya terlupakan dan tidak disentuh sama sekali oleh
kesadaran dan kecerdasan mereka.
Makan memang suatu yang sepele, tapi sejatinya
karena dia adalah kebutuhan pokok manusia, maka masalah makan pada akhirnya
menjadi masalah yang sangat serius. Sebut satu filsuf saja yang dia tidak
makan, tidak ada bukan.
Dari masalah makan inilah pendulum pemikiran
para filsuf bergerak. Setiap fase pemikiran selalu dialektis, setiap pemikiran menggenapi, mengkritik dan (berniat)
menyempurnakan pemikiran sebelumnya. Mengapa mereka melakukan hal tersebut?
Jawaban mereka beraneka ragam tapi yang pasti pergerakan itu terjadi karena
lingkungan di mana dia hidup dan berkehidupan.
Pemikiran akan muncul saat dia dihadapkan pada
satu persoalan yang tidak sesuai, tidak tepat atau perlu penjelasan lebih
lanjut. Pemikiran macam apapun, pada niat terdalamnya ada motivasi membatin
bahwa kehidupan manusia harus tetap survive.
Masalah pangan seolah luput dari pandangan para filsuf meskipun pangan adalah
masalah krusial bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Atau apakah sebenarnya
para filsuf memang hidup di tempat nyaman yang dia tidak memikirkan lagi
masalah makan?
Kehendak filsafat untuk berfikir secara radikal
dan universal mengandaikan dia berdiri pada wilayah netral. Filsuf adalah orang
yang selalu berfikir dalam gerbong universalitas masalah. Dalam keadaan
tertentu, filsuf seperti Heidegger memilih untuk ikut gerakan Nazi. Karena
keyakinannya tersebut, Heidegger dipandang mempunyai kekurangan dalam kacamata
pengkajinya.
Asas bebas nilai sangat dipegang kuat oleh
filsafat. Karena universalitas tidak akan
menampak jika mereka hanya melihat realitas dari satu sisi. Kalau demikian maka
yang terjadi hanyalah pandangan, pendapat dan subjektifitas yang dihindari
banyak filsuf. Maka, berdiri di satu pihak, satu sisi tidak dibenarkan oleh
filsafat.
Watak pemikiran filsafat pun sangat elitis. Dia
muncul bukan dari kegelisahan kaum marginal akan tetapi dia berangkat dari
kenyamanan para elite. Kasta yang menelurkan para filsuf biasanya dari pendeta,
rohaniawan, biksu, atau dari akademisi, dunia kampus yang terisolasi dari
realitas manusia. Sedikit sekali yang dari orang yang bukan apa-apa, buruh
lusuh seperti Marx.
Absurditas filsafat juga nampak saat dia
melupakan sebagian manusia yang lain, dia adalah perempuan. Dalam teks-teks
filsafat jarang sekali disebutkan ada perempuan yang mencapai level pemikir.
Filsafat tidak kuasa terhadap kekangan budaya patriarkhi. Keuniversalan mereka
runtuh oleh kekerdilan pemikiran akibat dikebiri budayanya sendiri. Seorang legend
filsafat, yang karyanya menjadi rujukan semua filsuf, menyebut perempuan
sebagai setengah manusia, dia adalah Aristoteles.
Yang terakhir, filsafat nyata-nyata hanya milik
manusia yang mempunyai kekuasaan. Dalam kasus kolonisasi, filsafat lahir tanpa
memperdulikan daerah koloni. Filsafat dan cara berfikir radikal hanya menjadi
alat legitimasi sebagain negara untuk menghegemoni negara yang lain. Cara
berfikir yang tidak sejalan dengan filsafat dianggap sebagai naïf, tidak
rasional, kuper, bid’ah, takhayul, sihir, dan lain sebagainya. Padahal
kehidupan tidak semunya bisa menjadi objek kajian filsafat. Tapi hal ini terus
dipaksakan oleh sekelompok manusia yang mendapat keuntungan dari standardisasi
filsafat. Standardisasi selangkah lagi menuju hegemoni dan akhirnya penjajahan
tak berkesudahan. Penjajahan politik, social, budaya. Penjajahan pikiran yang
berujung pada penjajahan manusia seutuhnya.
Rekonstruksi Filsafat
Keangkuhan filsafat sudah saatnya diakhiri oleh
manusia, terutama pengikutnya sendiri. Kalau tidak, filsafat hanya akan menjadi
instrument penghancur manusia. Proses dehumanisasi terjadi saat filsafat kawin
paksa dengan modernisme. Manusia dengan seperangkat kehidupannya hilang
tergantikan dengan data, kode, info, ensiklopedi, gambar, suara dan media
lainnya. Kekakuan filsafat akan terus menjadi daya bagi segelintir orang yang
mempunyai kepentingan atas kemapanan. Oleh karena itu, filsafat perlu untuk
dibongkar, direkonstruksi dan dibangun kembali.
Saat Romo Magnis (Magnis Suseno, SJ.) berkunjung
ke ISIF, saya menanyakan tentang keberadaan dan keberlangsungan (khawatir
kehilangan) Filsafat Indonesia. Dia menjawab ada dalam naskah-naskah yang
berupa nasihat-nasihat tentang kehidupan, “itulah filsafat Indonesia”, kata
dia. Saya bertanya demikian bukan iseng ataupun manasuka. Pertanyaan tersebut
memang khusus untuk Romo Magnis, karena dalam buku “Filsafat Yang Berkonteks”
dia menyebutkan bahwa orang Indonesia tidak punya progres dalam
filsafat. Dia melihat kata “filsafat, filosofi dan falsafah” gandrung digunakan
tapi dia melihat hanya perlambangan saja tidak seperti filsafat yang dia
pahami.
Pertanyaannya adalah apakah
manusia Indonesia harus melepaskan watak dan identitas yang melekat secara
primordial agar bisa progresif menurut takaran mereka? Ataukah sebenarnya kita
punya karakter filsafat sendiri yang mandiri dan jelas berbeda degan filsafat
yang dipahami Romo Magnis (barat)?
Merekonstuksi filsafat berarti
mengakhiri filsafat yang selama ini memblenggu kita. Bila perlu
mendekonstruksinya untuk kemudian membangun kembali filsafat baru dengan watak
dan karakter dan nilai-nilai kita sendiri.
Hal demikian menjadi penting
karena saat sekarang, otoritas filsafat mulai dipertanyakan, tiga aspek penting
dalam filsafat kena kritik telak. Pertama, Kerentanan Metafisika. Kedua, Ketidakpastian Epistemologi. Dan Ketiga, Uang Sebagai Nilai.
Dalam keadaan demikian, maka
sudah saatnya kita untuk meninggalkan bangunan lama filsafat, bangunan yang
penuh dengan kekakuan, keangkuhan dan hegemoni. Menuju filsafat yang
berkonteks, membumi dan merdeka. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar