Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Senin, 29 Desember 2014

BERAKHIRNYA FILSAFAT?: REKONSTRUKSI MENUJU FILSAFAT YANG BERKONTEKS




BERAKHIRNYA  FILSAFAT?:
REKONSTRUKSI MENUJU FILSAFAT YANG BERKONTEKS

(Refleksi tiga setengah tahun mengembara di  Jurusan Pemikiran Islam, Fakultas Ushuludin Institut Studi Islam Fahmina Cirebon. Semoga Selamat Sampai Wisuda {S3W}!)

Judul besar di atas adalah judul sebuah buku terbitan Kanisius Yogyakarta yang beberapa tahun lalu saya baca. Dengan modal meminjam dari perpustakaan 400 Kota Cirebon, buku tersebut berhasil membuat saya kebingungan dan penasaran. Sebuah wacana baru yang njelimet memang perlu banyak waktu untuk diendapkan dan berinkubasi.
Hingga baru beberapa saat yang lalu, saya kembali terbujuk provokasi buku tersebut dengan semakin banyak menjumpai realitas yang berbeda dan  bergumul dengan keragaman fakta serta fenomena. Dari situ mulai ada keyakinan bahwa filsafat yang saya pelajari mempunyai keterbatasan yang dipaksakan.
Filsafat yang saya pelajari selalu menawarkan pemikiran akan realitas. Tapi tawaran itu terbatas pada wilayah kesadaran. Di luar wilayah itu, filsafat tidak bisa masuk. Padahal dalam kehidupan, realitas menampakan diri baik dalam kesadaran maupun ketidaksadaran. Peristiwa seperti mimpi, skizofernia, inflasi, adalah wilayah ketidaksadaran yang saat-saat sekarang menjadi kebingungan filsuf. Belum lagi ada beberapa realitas keseharian yang sebenarnya masuk dalam wilayah kesadaran tapi selalu absurd dalam teks-teks filsafat. Kadang dia tidak muncul sama sekali.
Di dalam pengembaraan, para filsuf tidak menyadari satu hal penting dari kehidupan. Dia adalah kebutuhan pokok manusia untuk makan (untuk survive), karena siapapun tunduk pada takdir manusia tersebut. Tapi seringkali ini dianggap sebagai kelumrahan yang fatalnya terlupakan dan tidak disentuh sama sekali oleh kesadaran dan kecerdasan mereka.
Makan memang suatu yang sepele, tapi sejatinya karena dia adalah kebutuhan pokok manusia, maka masalah makan pada akhirnya menjadi masalah yang sangat serius. Sebut satu filsuf saja yang dia tidak makan, tidak ada bukan.
Dari masalah makan inilah pendulum pemikiran para filsuf bergerak. Setiap fase pemikiran selalu dialektis, setiap pemikiran menggenapi, mengkritik dan (berniat) menyempurnakan pemikiran sebelumnya. Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Jawaban mereka beraneka ragam tapi yang pasti pergerakan itu terjadi karena lingkungan di mana dia hidup dan berkehidupan.
Pemikiran akan muncul saat dia dihadapkan pada satu persoalan yang tidak sesuai, tidak tepat atau perlu penjelasan lebih lanjut. Pemikiran macam apapun, pada niat terdalamnya ada motivasi membatin bahwa kehidupan manusia harus tetap survive. Masalah pangan seolah luput dari pandangan para filsuf meskipun pangan adalah masalah krusial bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Atau apakah sebenarnya para filsuf memang hidup di tempat nyaman yang dia tidak memikirkan lagi masalah makan?
Kehendak filsafat untuk berfikir secara radikal dan universal mengandaikan dia berdiri pada wilayah netral. Filsuf adalah orang yang selalu berfikir dalam gerbong universalitas masalah. Dalam keadaan tertentu, filsuf seperti Heidegger memilih untuk ikut gerakan Nazi. Karena keyakinannya tersebut, Heidegger dipandang mempunyai kekurangan dalam kacamata pengkajinya.
Asas bebas nilai sangat dipegang kuat oleh filsafat. Karena universalitas tidak akan menampak jika mereka hanya melihat realitas dari satu sisi. Kalau demikian maka yang terjadi hanyalah pandangan, pendapat dan subjektifitas yang dihindari banyak filsuf. Maka, berdiri di satu pihak, satu sisi tidak dibenarkan oleh filsafat. 
Watak pemikiran filsafat pun sangat elitis. Dia muncul bukan dari kegelisahan kaum marginal akan tetapi dia berangkat dari kenyamanan para elite. Kasta yang menelurkan para filsuf biasanya dari pendeta, rohaniawan, biksu, atau dari akademisi, dunia kampus yang terisolasi dari realitas manusia. Sedikit sekali yang dari orang yang bukan apa-apa, buruh lusuh seperti Marx.
Absurditas filsafat juga nampak saat dia melupakan sebagian manusia yang lain, dia adalah perempuan. Dalam teks-teks filsafat jarang sekali disebutkan ada perempuan yang mencapai level pemikir. Filsafat tidak kuasa terhadap kekangan budaya patriarkhi. Keuniversalan mereka runtuh oleh kekerdilan pemikiran akibat dikebiri budayanya sendiri. Seorang legend filsafat, yang karyanya menjadi rujukan semua filsuf, menyebut perempuan sebagai setengah manusia, dia adalah Aristoteles.
Yang terakhir, filsafat nyata-nyata hanya milik manusia yang mempunyai kekuasaan. Dalam kasus kolonisasi, filsafat lahir tanpa memperdulikan daerah koloni. Filsafat dan cara berfikir radikal hanya menjadi alat legitimasi sebagain negara untuk menghegemoni negara yang lain. Cara berfikir yang tidak sejalan dengan filsafat dianggap sebagai naïf, tidak rasional, kuper, bid’ah, takhayul, sihir, dan lain sebagainya. Padahal kehidupan tidak semunya bisa menjadi objek kajian filsafat. Tapi hal ini terus dipaksakan oleh sekelompok manusia yang mendapat keuntungan dari standardisasi filsafat. Standardisasi selangkah lagi menuju hegemoni dan akhirnya penjajahan tak berkesudahan. Penjajahan politik, social, budaya. Penjajahan pikiran yang berujung pada penjajahan manusia seutuhnya.

Rekonstruksi Filsafat
Keangkuhan filsafat sudah saatnya diakhiri oleh manusia, terutama pengikutnya sendiri. Kalau tidak, filsafat hanya akan menjadi instrument penghancur manusia. Proses dehumanisasi terjadi saat filsafat kawin paksa dengan modernisme. Manusia dengan seperangkat kehidupannya hilang tergantikan dengan data, kode, info, ensiklopedi, gambar, suara dan media lainnya. Kekakuan filsafat akan terus menjadi daya bagi segelintir orang yang mempunyai kepentingan atas kemapanan. Oleh karena itu, filsafat perlu untuk dibongkar, direkonstruksi dan dibangun kembali.
Saat Romo Magnis (Magnis Suseno, SJ.) berkunjung ke ISIF, saya menanyakan tentang keberadaan dan keberlangsungan (khawatir kehilangan) Filsafat Indonesia. Dia menjawab ada dalam naskah-naskah yang berupa nasihat-nasihat tentang kehidupan, “itulah filsafat Indonesia”, kata dia. Saya bertanya demikian bukan iseng ataupun manasuka. Pertanyaan tersebut memang khusus untuk Romo Magnis, karena dalam buku “Filsafat Yang Berkonteks” dia menyebutkan bahwa orang Indonesia tidak punya progres dalam filsafat. Dia melihat kata “filsafat, filosofi dan falsafah” gandrung digunakan tapi dia melihat hanya perlambangan saja tidak seperti filsafat yang dia pahami.
Pertanyaannya adalah apakah manusia Indonesia harus melepaskan watak dan identitas yang melekat secara primordial agar bisa progresif menurut takaran mereka? Ataukah sebenarnya kita punya karakter filsafat sendiri yang mandiri dan jelas berbeda degan filsafat yang dipahami Romo Magnis (barat)?
Merekonstuksi filsafat berarti mengakhiri filsafat yang selama ini memblenggu kita. Bila perlu mendekonstruksinya untuk kemudian membangun kembali filsafat baru dengan watak dan karakter dan nilai-nilai kita sendiri.
Hal demikian menjadi penting karena saat sekarang, otoritas filsafat mulai dipertanyakan, tiga aspek penting dalam filsafat kena kritik telak. Pertama, Kerentanan Metafisika. Kedua, Ketidakpastian Epistemologi. Dan Ketiga, Uang Sebagai Nilai.
Dalam keadaan demikian, maka sudah saatnya kita untuk meninggalkan bangunan lama filsafat, bangunan yang penuh dengan kekakuan, keangkuhan dan hegemoni. Menuju filsafat yang berkonteks, membumi dan merdeka. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate