Tidak
Harus di Sekolah
Oleh: Asih Widiyowati
Setiap manusia
yang terlahir ke dunia berada dalam keadaan bebas dan merdeka. Baru kemudian
sesaat beberapa tahun setelahnya ada kemestian dan keharusan yang mengikat
dirinya. Saat usia manusia mulai menginjak 3-6 tahun, mereka sepertinya
diwajibkan untuk mengikuti berbagai macam tawaran-tawaran sekolah, mulai dari
Pendidikan Usia Dini yang dimulai sejak usia anak 3 tahun, usia yang masih
sangat belia. Hingga setelah dia dewasa, pendidikan pun terus ditempuh manusia
dengan jenis pendidikan di perguruan tinggi, terus dan terus.
Sekolah adalah
lembaga pendidikan di negeri kita yang menjadi tempat seluruh manusia bangsa
ini dididik. Karena pendidikan menjadi satu “keharusan”, maka sekolah pun
menjadi lahan subur untuk berbagai kepentingan. Kalau kita amati, sekolah di
negeri kita begitu menjamur, dari mulai tingkat batita hingga dewasa. Sekolah
menawarkan berbagai macam iming-iming fasilitas dan sarana yang wah demi meraih
masa depan yang cerah. Sekolah atau lembaga pendidikan antara yang satu dengan
yang lain saling berlomba-lomba tak mau kalah, bahkan tak jarang saling sikut.
Perang spanduk terjadi dimana-mana, ada yang menjanjikan lapangan kerja, gadget
gratis, kualitas, fasilitas, akreditasi, status, bahkan kelas yang
diklasifikasikan secara resmi oleh pemerintah, tentunya dengan biaya masuk yang
disesuaikan.
Fenomena
pendidikan di Indonesia yang seperti itu menurutku tidak lebih dari lalu lalang
sekolah yang menawarkan kepada para manusia untuk membayar (mengeluarkan banyak
uang) demi fasilitas pendidikan yang terkapitalisasi.
Soal masa depan, sebenarnya sama saja, tidak ada jaminan.
Sekolah menjadi
semacam pabrik/produsen produk kosmetik yang menjajakan komoditasnya dengan
berbagai cara agar banyak yang mendaftar dan membeli produknya. Logika sekolah
di negeriku adalah logika pasar, semakin banyak yang membeli semakin banyak
laba diperoleh. Karena tujuannya laba, maka prinsip yang digunakan adalah
bagaimana dengan sekecil-kecilnya biaya produksi (penyediaan fasilitas, honor
guru, dll) bisa menghasilkan untung yang sebesar-besarnya (murid yang
sebanyak-banyanya). Soal kualitas itu nomor ke berapa, yang penting adalah cap,
merk dan labelnya. Label yang dengan murah dapat dibeli dan disiasati, tinggal
pilih sesuai kemampuan penyelenggara pendidikan, mau SSN (Sekolah Standar
Nasional), SBI (Sekolah Berstadar Internasional), SKSD (Sekolah Karena Suka
Duit) atau apa sajalah.
Refleksi Jumat Sore
Sore itu, hari
jumat sekitar pukul 18.30 WIB, sehabis maghrib tanggal lima Oktober, saat
penulis pulang mengendarai sepeda motor
dari tempat kosan salah satu saudara di
daerah Mundu, Kabupaten Cirebon, terlihat sesosok gadis yang berusia belasan tahun
tertidur lelap di bawah tiang lampu merah perempatan Perum Rajawali Cirebon.
Kaos lusuh penuh
debu dan rok warna merah dan kakinya yang tanpa alas kaki. Ia duduk tertidur
hingga kepalanya begitu membungkuk ke bawah. Ia tak menghiraukan bunyi klakson
kendaran yang lalu lalang di perempatan jalan raya.
Diri ini
membatin, inilah sekolah bagi gadis kecil seumuran dia di negeri tercinta ini.
Dia sekolah tanpa perlu gedung mewah, seragam, laboratorium dan lain
sebagainya. Mungkin baginya jalan, lampu merah, ramainya kendaraan lalu lalang
dan seluruh isi alam semesta ini adalah tempat ia sekolah, belajar tentang
kehidupan. Si anak kecil itu memang kelihatan lusuh tak beraturan, tapi toh dia
tetap bisa bertahan hidup dan tegar dalam kekejaman kehidupan, sendirian tanpa
orang tua dan sanak saudara. Keberaniannya adalah kurikulum dan situasi yang
memaksa dia turun ke jalan adalah takdir untuk mengenyam pendidikan dari
jalanan.Jutaan pertanyaan pun kembali menghujam, sejak kapan kita di jejali
bahwa belajar kehidupan selalu harus masuk ke dalam sistem pendidikan yang
harus berseragam formal? Mulai dari sepatu, celana dengan warna yang sama,
baju, gedung, kurikulum, hinggacara memandang kehidupan. Peraturan di sekolah
pun dibuat-buat dengan kehendak entah siapa? Disiplin lah, anu lah, itu lah.
Sejak kapan itu semua menjadi keharusan bagi diri kita, manusia yang merdeka,
yang bisa belajar di mana saja. Peraturan sekolah pun diciptakan dengan begitu
ketat.
Kedisiplinan
menjadi cermin maju atau tidaknya pendidikan di sekolah. Standar-standar
militer pun diterapkan supaya sekolah tersebut kelihatan disiplin bahkan kadang
dibuat seperti barak-barak para tentara. Tak ada kebebasan apapun atas diri
kita, termasuk menentukan sendiri pembelajaran seperti apa yang kita inginkan
dan butuhkan, kita ditentukan menjadi seperti apa oleh sebuah sistem yang kita
tidak mengerti apa, hanya meyakini bahwa itu baik, titik, satu bentuk iman dari
akidah sistem pendidikan di negeri kita.
Arti Sekolah Sebenarnya
Saat mendengar
kata sekolah, pada umumnya, orang
akan membayangkan suatu tempat di mana anak-anak/orang-orang menghabiskan sebagian masa hidupnya untuk
belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu memang mengacu pada suatu sistem, suatu
lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya:
sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, sekawanan bangunan gedung,
secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan
sebagaianya, dan seterusnya.
Padahal kalau
dari bahasa asalnya, bahasa aslinya, sekolah berasal dari kata skhole, scole,
scolae atau scola (Latin), yang secara harfiyah berarti ‘waktu
luang’ atau “waktu senggang’. Mengapa demikian?
Alkisah, orang
Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi
suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan
mempelajarai hal ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka
ketahui. Mereka sering menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scole, scoale atau schola. Keempatnya mempunyai arti yang
sama yakni ‘waktu luang’ yang digunakan secara khusus untuk belajar’ (leisure
devoted to learning).
Dua point
penting dalam genealogi kata sekolah adalah bahwa sekolah pada awalnya adalah ‘waktu senggang yang digunakan sekehendak
manusia’ untuk mempelajari
pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dirinya. Pendidikan bukanlah untuk
hanya sekedar mendapatkan secarik kertas penentu masa depan. Aneh memang,
dengan alasan pendidikan, setiap anak harus sekolah, apalagi dengan di
canangkannya wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan oleh pemerintah.
Pendidikan macam apa yang tidak mengakomodasi keinginan peserta didik?
Pendidikan macam apa yang ditegakkan dengan semangat militer tidak dengan
semangat keilmuan? Pendidikan macam apa yang merenggut masyarakat dari
kehidupan sosialnya? Pendidikan macam apa yang membuat masa depan manusia
sangat bergantung pada ijazah dan sertifikat? Seorang ahli di bidang
kehidupannya tidak diakui sebagai ahli gara-gara tidak sekolah dan mendapat
ijazah. Petani dengan ilmu pertaniannya, petambak dengan ilmu tambaknya, ustadz
kampung dengan kajian agamanya, sineas jalanan dan kampung dengan kecerdasan
keseniannya, mereka ahli, pandai, cerdas dan dapat diandalkan di bidangnya tapi
di negeri ini mereka tak dapat tempat yang seharusnya, karena mereka tidak
sekolah dan mendapat selembar ijazah.
Belum lagi,
paradigma pendidikan bangsa ini belum juga tuntas, masa untuk 20% dari APBN,
pendidikan kita belum juga terasa ada perbedaan, biaya pendidikan masih menjadi
tanggungan yang memberatkan masyarakat. Dana alokasi anggaran pendidikan yang
begitu besar tidak sampai pada masyarakat bawah. Mereka membocori dana
disana-sini, di setiap jalur dan halte birokrasi. Sebesar apapun dana, sehebat
apapun peraturan, sejujur apapun pemimpin, kalau paradigmanya adalah paradigma
secarik kertas, sampai kapanpun pendidikan kita tidak akan berubah, sekolah
adalah lembaga pembelenggu manusia.