Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Kamis, 22 Januari 2015

Tidak Harus di Sekolah



Tidak Harus di Sekolah
Oleh: Asih Widiyowati



Setiap manusia yang terlahir ke dunia berada dalam keadaan bebas dan merdeka. Baru kemudian sesaat beberapa tahun setelahnya ada kemestian dan keharusan yang mengikat dirinya. Saat usia manusia mulai menginjak 3-6 tahun, mereka sepertinya diwajibkan untuk mengikuti berbagai macam tawaran-tawaran sekolah, mulai dari Pendidikan Usia Dini yang dimulai sejak usia anak 3 tahun, usia yang masih sangat belia. Hingga setelah dia dewasa, pendidikan pun terus ditempuh manusia dengan jenis pendidikan di perguruan tinggi, terus dan terus.
Sekolah adalah lembaga pendidikan di negeri kita yang menjadi tempat seluruh manusia bangsa ini dididik. Karena pendidikan menjadi satu “keharusan”, maka sekolah pun menjadi lahan subur untuk berbagai kepentingan. Kalau kita amati, sekolah di negeri kita begitu menjamur, dari mulai tingkat batita hingga dewasa. Sekolah menawarkan berbagai macam iming-iming fasilitas dan sarana yang wah demi meraih masa depan yang cerah. Sekolah atau lembaga pendidikan antara yang satu dengan yang lain saling berlomba-lomba tak mau kalah, bahkan tak jarang saling sikut. Perang spanduk terjadi dimana-mana, ada yang menjanjikan lapangan kerja, gadget gratis, kualitas, fasilitas, akreditasi, status, bahkan kelas yang diklasifikasikan secara resmi oleh pemerintah, tentunya dengan biaya masuk yang disesuaikan.
Fenomena pendidikan di Indonesia yang seperti itu menurutku tidak lebih dari lalu lalang sekolah yang menawarkan kepada para manusia untuk membayar (mengeluarkan banyak uang) demi fasilitas pendidikan yang terkapitalisasi. Soal masa depan, sebenarnya sama saja, tidak ada jaminan.
Sekolah menjadi semacam pabrik/produsen produk kosmetik yang menjajakan komoditasnya dengan berbagai cara agar banyak yang mendaftar dan membeli produknya. Logika sekolah di negeriku adalah logika pasar, semakin banyak yang membeli semakin banyak laba diperoleh. Karena tujuannya laba, maka prinsip yang digunakan adalah bagaimana dengan sekecil-kecilnya biaya produksi (penyediaan fasilitas, honor guru, dll) bisa menghasilkan untung yang sebesar-besarnya (murid yang sebanyak-banyanya). Soal kualitas itu nomor ke berapa, yang penting adalah cap, merk dan labelnya. Label yang dengan murah dapat dibeli dan disiasati, tinggal pilih sesuai kemampuan penyelenggara pendidikan, mau SSN (Sekolah Standar Nasional), SBI (Sekolah Berstadar Internasional), SKSD (Sekolah Karena Suka Duit) atau apa sajalah. 

Refleksi Jumat Sore
Sore itu, hari jumat sekitar pukul 18.30 WIB, sehabis maghrib tanggal lima Oktober, saat penulis pulang   mengendarai sepeda motor dari  tempat kosan salah satu saudara di daerah Mundu, Kabupaten Cirebon, terlihat sesosok gadis yang berusia belasan tahun tertidur lelap di bawah tiang lampu merah perempatan Perum Rajawali Cirebon.
Kaos lusuh penuh debu dan rok warna merah dan kakinya yang tanpa alas kaki. Ia duduk tertidur hingga kepalanya begitu membungkuk ke bawah. Ia tak menghiraukan bunyi klakson kendaran yang lalu lalang di perempatan jalan raya.
Diri ini membatin, inilah sekolah bagi gadis kecil seumuran dia di negeri tercinta ini. Dia sekolah tanpa perlu gedung mewah, seragam, laboratorium dan lain sebagainya. Mungkin baginya jalan, lampu merah, ramainya kendaraan lalu lalang dan seluruh isi alam semesta ini adalah tempat ia sekolah, belajar tentang kehidupan. Si anak kecil itu memang kelihatan lusuh tak beraturan, tapi toh dia tetap bisa bertahan hidup dan tegar dalam kekejaman kehidupan, sendirian tanpa orang tua dan sanak saudara. Keberaniannya adalah kurikulum dan situasi yang memaksa dia turun ke jalan adalah takdir untuk mengenyam pendidikan dari jalanan.Jutaan pertanyaan pun kembali menghujam, sejak kapan kita di jejali bahwa belajar kehidupan selalu harus masuk ke dalam sistem pendidikan yang harus berseragam formal? Mulai dari sepatu, celana dengan warna yang sama, baju, gedung, kurikulum, hinggacara memandang kehidupan. Peraturan di sekolah pun dibuat-buat dengan kehendak entah siapa? Disiplin lah, anu lah, itu lah. Sejak kapan itu semua menjadi keharusan bagi diri kita, manusia yang merdeka, yang bisa belajar di mana saja. Peraturan sekolah pun diciptakan dengan begitu ketat.
Kedisiplinan menjadi cermin maju atau tidaknya pendidikan di sekolah. Standar-standar militer pun diterapkan supaya sekolah tersebut kelihatan disiplin bahkan kadang dibuat seperti barak-barak para tentara. Tak ada kebebasan apapun atas diri kita, termasuk menentukan sendiri pembelajaran seperti apa yang kita inginkan dan butuhkan, kita ditentukan menjadi seperti apa oleh sebuah sistem yang kita tidak mengerti apa, hanya meyakini bahwa itu baik, titik, satu bentuk iman dari akidah sistem pendidikan di negeri kita.

Arti Sekolah Sebenarnya
Saat mendengar kata sekolah, pada umumnya, orang akan membayangkan suatu tempat di mana anak-anak/orang-orang  menghabiskan sebagian masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu memang mengacu pada suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagaianya, dan seterusnya.
Padahal kalau dari bahasa asalnya, bahasa aslinya, sekolah berasal dari kata skhole, scole, scolae atau scola (Latin), yang secara harfiyah berarti ‘waktu luang’ atau “waktu senggang’. Mengapa demikian?
Alkisah, orang Yunani tempo dulu biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajarai hal ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka sering menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scole, scoale atau schola. Keempatnya mempunyai arti yang sama yakni ‘waktu luang’ yang digunakan secara khusus untuk belajar’ (leisure devoted to learning).
Dua point penting dalam genealogi kata sekolah adalah bahwa sekolah pada awalnya adalah ‘waktu senggang yang digunakan sekehendak manusia’ untuk mempelajari pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dirinya. Pendidikan bukanlah untuk hanya sekedar mendapatkan secarik kertas penentu masa depan. Aneh memang, dengan alasan pendidikan, setiap anak harus sekolah, apalagi dengan di canangkannya wajib belajar sembilan tahun yang dilakukan oleh pemerintah. Pendidikan macam apa yang tidak mengakomodasi keinginan peserta didik? Pendidikan macam apa yang ditegakkan dengan semangat militer tidak dengan semangat keilmuan? Pendidikan macam apa yang merenggut masyarakat dari kehidupan sosialnya? Pendidikan macam apa yang membuat masa depan manusia sangat bergantung pada ijazah dan sertifikat? Seorang ahli di bidang kehidupannya tidak diakui sebagai ahli gara-gara tidak sekolah dan mendapat ijazah. Petani dengan ilmu pertaniannya, petambak dengan ilmu tambaknya, ustadz kampung dengan kajian agamanya, sineas jalanan dan kampung dengan kecerdasan keseniannya, mereka ahli, pandai, cerdas dan dapat diandalkan di bidangnya tapi di negeri ini mereka tak dapat tempat yang seharusnya, karena mereka tidak sekolah dan mendapat selembar ijazah.
Belum lagi, paradigma pendidikan bangsa ini belum juga tuntas, masa untuk 20% dari APBN, pendidikan kita belum juga terasa ada perbedaan, biaya pendidikan masih menjadi tanggungan yang memberatkan masyarakat. Dana alokasi anggaran pendidikan yang begitu besar tidak sampai pada masyarakat bawah. Mereka membocori dana disana-sini, di setiap jalur dan halte birokrasi. Sebesar apapun dana, sehebat apapun peraturan, sejujur apapun pemimpin, kalau paradigmanya adalah paradigma secarik kertas, sampai kapanpun pendidikan kita tidak akan berubah, sekolah adalah lembaga pembelenggu manusia.




Minggu, 18 Januari 2015

Refleksi Negeri Kecil



Refleksi Negeri Kecil

Sebuah tulisan sederhana, saya suguhkan untuk materi diskusi petengan yang selalu menjadi agenda rutin malam jum’at. Walau sebenarnya saya bukanlah yang ahli dalam hal tulis-menulis.  Namun rangkaian demi rangkaian kata saya coba susun sedemikian rupa, sebagai buah kegelisahan yang selama ini mengungkung pikiran. Seperti tulisan teman – teman yang telah mengisi diskusi petengan yang sudah-sudah, ini hanyalah sebuah refleksi, namun semoga kegelisahan dalam diri bisa terobati dan juga bisa dirasakan oleh teman- teman yang lain. Oleh karena itu, dengan bahasa tulisan yang masih acak – acakan bin semrawut, saya hendak belajar meramu bak tukang jamu agar bisa dipahami serta dinikmati buat teman – teman semua.

Dengan sebuah judul sederhana yaitu “refleksi negeri kecil”, sebelumnya mungkin teman – teman akan bertanya apa maksud yang hendak saya sampaikan dengan judul tersebut. maksudnya Refleksi itu ialah sebuah bentuk ulasan tulisan yang memuat kegelisahan saya. Dan Negeri kecil yang dimaksudkan disini ialah potret pada saat - saat ketika kita semua masih menginjak masa yang disebut anak – anak. Dimana didalamnya ada negeri yang kita bangun sendiri, yang merupakan dunia kita. Secara natural kita berkembang dari seseorang yang polos lagi lugu, namun tanpa batas dalam mengembangkan alam pikiran. Sebagai ruang ekspresi serba ingin tahu dan kitapun tak terpengaruh beban/masalah urusan - urusan orang dewasa yang mengitari tersebut.
Mungkin saya membicarakan sebuah hal yang sepele, namun ada kegelisahan ataupun keresahan mengganjal yang mengitari ku saat ini. Serasa ada dunia yang hilang bagaikan pulau atlantis yang tenggelam, yaitu tatkala melihat realita sekitar, rupanya permainan adik – adik kita telah tergantikan. Kini yang ku saksikan sekarang jauh berbeda dari masa kita 10 atau 15 tahun yang silam. Bahkan para orang tua kita pun mungkin merasakan hal yang serupa.
Ya, saya tidak memungkiri akan kemajuan teknologi yang menghampiri. Banyak nilai – nilai positif yang bisa digali dan sebagian dari itu ada efek negatif yang didapati. Namun biasanya hal yang negatif itu kita kesampingkan. Karena terlupa akan kemajuan teknologi yang terkadang tak bisa dihindari, sebab watak kita sekarang terbiasa konsumtif akan perkataan “jaim”. Sebab jikalau sedikit saja kita tidak mengenal produk – produk asing itu kita akan di label parno bahkan gaptek.
Untuk adik – adik kita, memang tidak dipungkiri bahwa mereka harus mengenal dan tidak pas kalau membuang hal demikian, karena itulah buah kemajuan teknologi yang ada sekarang, hanya perlu ditekankan agar membatasi ruang tersebut. Tetapi yang sangat disayangkan dengan adanya hal tersebut, sebagian besar mereka (adik-adik kita) lupa akan menjaga tradisi lama yang bisa mengikat emosi dan ruang kesolidan antar teman. Yaitu dalam negeri kecil mereka yang saya sebutkan dalam judul diatas, dimana didalamnya memuat penuh permainan tradisional ala lokal.
Permainan yang serasa baru- baru ini makin punah (lenyap secara berangsur-angsur). Digantikan oleh dunia baru yang hadir dari dunia maya (PS , game online dan sebangsanya), dunia yang selalu mengekspresikan hayalan belaka, yang menjadikan manusia generasi penerus kita itu hilang kepekaan terhadap lingkungannya.
Karena kegelisahan ini, saya pernah melarang ibu atau ayah saya untuk membelikan Hand Phone (contoh kecil hasil teknologi) buat adik, yang masih duduk dibangku SD waktu itu. Walau dia merengek, terpengaruh teman – teman sekitarnya yang sudah memegang alat genggam tersebut. Tapi saya rasa itu bukan masanya dan belum waktunya, hanya karena terkungkung gengsi (mereka punya, kenapa aku tidak). Padahal alat yang awalnya berfungsi sebagai komunikasi itu, akan membuat diri dan watak pribadi saudara kecil saya itu menjadi pribadi yang bukan jati dirinya. Adik saya belum mengerti penuh fungsinya yang ia inginkan, itulah alasan saya.
Saya rindu akan masa kecil konyol namun lucu. Permainan ala kami pribadi yang dibuat bersama – sama, secara tradisional namun sederhana dan terkadang tak perlu mengeluarkan biaya. Itu semua tak saya temukan tatkala generasi angkatan adik saya yang sekarang, karena mereka lebih suka bermain secara individual.
Saya yakin, pengolahan dari permainan – permainan tradisional yang diciptakan oleh kaum  muda atau warisan orang tua terdahulu, mempunyai pesan – pesan moral dan sosial. Ada kerjasama tim yang dibangun untuk saling peduli bukan hanya untuk dirinya pribadi, seperti halnya permainan sederhana yang biasa saya sebut “slodoran”, ada kegigihan untuk belajar membuat sesuatu sebagai kreasi seperti halnya permainan “panggalan” (gangsing ala daerahku), dan masih banyak yang lainnya lagi. Namun seiring waktu permainan kita (budaya saat kecil) seiring waktu terpangkas habis, lambat laun adik –adik kita tak memainkannya lagi, bahkan mereka tidak mengenalinya sama sekali.
Dimana dunia kita yang terdahulu indah itu? Sekarang tak ditemukan lagi kecerian pada generasi baru, yang biasanya menghiasi gang – gang kecil seperti kita dulu.
Tulisan ini hanya sekedar membahas realitas - realitas kecil sekitar, yang dianggap wajar namun kita akan merasa sadar ketika ada sesuatu yang hilang dan itu seperti tercabut dari ujung akar. Masih relakah kita menjadi jati diri yang imporan, terus menerus mengadopsi dunia yang tidak kita kenal...??


“jangan lupakan bahasa ibu yang telah terbentuk dalam diri, karena ia lebih dekat dan jauh lebih kita pahami dari pada bahasa serapan yang baru”

*) Tulisan Refleksi Ahmad Tantowi dalam diskusi petengan, Semester III Institut Studi Islam Fahmina.

Selasa, 13 Januari 2015

Refleksi Budaya Pop



Refleksi Budaya Pop
Oleh :Nasihin
( MahasiswaFisafat Agama FakultasUshuluddin ISIF Cirebon)
Budayasebagaikarakteristikmasyarakat yang menjadikultur, keperibadiandanbisamempengaruhiideologi.  Mengidentifikasi factor evolusinyakebudayaandilakukansalahsatunyadengan media, sertamengedepankankontekskeutamaanzamannya. Budayapopuler danseringdikenaljugasebagai budaya pop modern, adalahtotalitas ide, perspektif, perilaku, citra, danfenomenalainnya yang dipiliholehkonsensus informal di dalamarusutamasebuahbudaya, khususnyaoleh budaya Barat di awalhinggapertengahanabad ke-20 danarusutama global yang munculpadaakhirabad ke-20 danawalabad ke-21. Denganpengaruhbesardari media massa, kumpulan ide inimenembuskehidupansehari-harimasyarakat.
Sebelummengartikanbudaya pop tentunyakitaperlu tau “budaya” itupengertiandanpengertian “pop” ituapa, untukmengetahuimakna yang sebenarnyadari “Budaya Pop” itusendiri. Seringkalibudaya pop itudiistilahkansebagaiBudayaPopuler. Budayaaninimarakdisekitarkita yang disajikanoleh media, baik media suastamaupun media nasionaldanbahkan media internasional, kitabisamngetahuiperkembanganmasasekarangmelaluiberbagaikabar-kabarduniamayaapalagimengetahuidenganadanyambah Google yang siapmemanjakanpenggunanya.

Menurut Williams (tahun 1983) yaitu pertama budayadapatdigunakanuntukmengacupadasuatu proses umumperkembanganintelektual, spiritual, danestetis; kedua budaya berartipandanganhiduptertentudarimasyarakat, periode atau kelompok tertentu; ketiga budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktikintelektual, trutamaaktivitasnilai-nilaiseni. Sedangkan “Pop” itusendiridiartikansebagai :banyakdisukai orang, jeniskerjanyarendahan, karya yang dilakukanuntukmenyenangkan orang, budaya yang memangdibuatoleh orang untukdirinyasendiri.
SehinggapengertianBudaya Pop sendiriyaitubudaya yang mudahsekalimasukdalammasyarakatdanjugabersifatmenyenangkanataubanyakdisukai orang, denganmelihatbudaya yang tertinggaltentunyamelakukanefaluasiatauevolusibaruuntukmengikutibudaya yang disenangiolehmasyarakatyaitubudaya yang tertinggidengankreasihasilkretivitasindividu. Memodifikasihasilkaryaseseorangdenganmengkosentrasikanpadaperkembangan media sekaranginiuntukmenghasilkankenikmatankaryayngdiciptakanuntukmasyarakatbanyakdansendiri.

Kalanganremajaatauanakbarugede (ABG), boleh di kata merupakangenerasi yang paling cepatmenyerapdanmenerapkansegalajenisprodukperubahankarenamerekaadalahkelompoklapisanmasyarakat yang paling terpengaruhlangsungolehbudayapopuler. Namakelewangsudahtidakasingkitalihatsekarangini, sebagaieng motor yang brutal di daerahriautentunyainisangatmeresahkan n merugikanmasyarakatbanyak. Apalagianggotanyabanyakdikalangananakremajamasihdalamsetatuspelajar yang menjadianggotageng motor klewang, betapaironisnyaanak-anak yang seharusnyamenjaditumpuhan orang tuadan Negara harusbertingkahsepertiitudalamusiamudanya, tentunyainidibarengidengan media sekarangsepertinyakabar yang menjualbuatmasyarakatadalahsisiprilaku negative ditampilkanbuatsuguhanmasarakatsekarangsehinggaberbondong-bondongprilakuitudikerjakandanditiruprilakunya.
Tidakhanyaitusikap orang yang diatasnya para pejabatsekaranginimemilikiprilaku yang burukbuatmasyarakat, adanyakasuskorupsidagingsapi yang dilakukanmantanpresiden PKS yaitu Ahmad Fathanah yang baru-baruiniditangkapoleh KPK. Berbagaikabar media baik, Koran, TV, internet dansebagainyakerap kali muncul Ahmad Fathanahmengenaikasuskorupsinya. Apapunkemiripandarikeduanya, baikKlewangdan Ahmad Fathanahtidakbaikuntukmenjadipanutan. Pelakukejahatankorupsidankriminilinimerupakanbeberapakisahdarisekianbanyakkoruptordanpelakukejahatan di jalanan, tetapiprilakuinitanpadisadaribanyakmenginspirasibanyak orang denganmengatakan “masyarakatnyasajasepertiituapalagipejabatnya”.
Budayainisangatdipengaruhioleh media danpasar, kontennyabersifat universal namuncepatpunahdantergantikan, danorientasiproduksisecaramassal. Wujudbudaya pop beranekamacam, misalnya: bahasa, tekhnologi, busana, musik, dantatacaraatauperilaku. Serta, objeksasaranbudayainiadalah para pemuda. Konteksinisangatunifersalmakabanyaksekali yang masukdalamdunia pop, media inihanyasebagaiderasanarus ideology sebagaicandusesaatdanmenikmatihal yang barusebagaipestaporamasyarakat.
Sekaranginibanyakdiantarakita yang menciptakansuatukebudayaan yang merambahdarikelasatassampaikelasbawahmenyeluruhuntukmempublikasiknakreativitas yang menjadicandumasyarakatbanyak. Di Indonesia sendiribudaya pop sepertibumbu yang takpernahlepasdarikehidupansehari-hari, sertamenyertakandirimerekapadapasar media bebas yang masuksecarabebasdanmelakukanmanuferperombakansecarabesar-besaran.
kitamasihingatkeberadaan para pelakupemusik Band yang menjadimasakeemasandidalamkepuncakankarir para band, padakeemasannya music band banyakdigandrungi para masyarakatbaikanakkecil, remaja, dewasa, bahkan orang yang sudahlanjut pun menikmatisajian music band, selainlagu yang mengipnotispenampilan pun menunjangaksimerekadalampanggung. Sekaranginipamoritumulaimenyusutdandigantiolehkehadiran boy band dan girl band, dalamdunia industry music sahsajabisakapansajabergantihaluanmengikutipasar media dankeuntunganbuatindustrinyasendiri.
Sorotanpadamasaitusemuatertujupadakapasitasmusiknya yang mampumengipnotismasyarakatpenikmat music yang tergila-gilaakankeberadaannya. Masyarakattakjubdanberbondong-bondongmengikutipelaku industry musick. Yang mengindukpadatatanan media masasebagaipasarterbesaruntukmenjual, seringkali media masasebagaipelaku yang mengaturmasyarakatuntukmenikmatisajian yang dijualnya, media jugaberangkatdarimasyarakat yang mengikutitrenitusendiri.
Persoalaninisebenarnyaperludikritisiterhadapbudaya pop sekarang, media sebagaipusatinformasimasyarakatsecaramasaltetapiadasisinegatifnyaterhadapmasyarakat, apalagikitasebagaiduniaakademik, inimunculdandatangdengansendirinya, siapa yang butuhdansiapa yang menjadipasar media.

DisajikanuntukMakalahPetengan
EdisiKamis, 30 Mei 2013

Agama Sipil : Perwujudan Nilai Kebangsaan Telaah Sosiologi



Agama Sipil : Perwujudan Nilai Kebangsaan Telaah Sosiologi
Oleh : Zaenal Abidin*
            Pembahasan mengenai kehidupan beragama sekiranya sangat komplek, apalagi kita membicarakan, mempertanyakan eksistensi dan membahas kembali konsepsi Agama itu sendiri. Dalam konteks keindonesiaan, dan dengan segala keunikan dan kemajemukan manusia indonesia begituhalnya dengan kehidupan keberagamaannya. Agama di negara kita Indonesia memegang perananan yang sangat pentingdalam kehidupan masyarakatnya. Sepertinya kita sudah menyadari keberagaman itu, namun tak jarak konflik antar umat bergama tak dapat terelakan dari kenyataannya.

Sejak dulu nenek moyang kita sudah terbiasa hidup dengan masyarakat yang plural, apalagi sekarang. Kran demokrasi yang digadang-gadang mampu mengafirmasi semua pemahaman dan aliran, kiranya kini membuahkan hasil. Kesuksesan demokrasi di indonesia membawa permaslahan tersendiri yang harus kita atasi bersama. permasalahannya semakin kompleks, pluralisme agama yang ada di indonesia boleh dibilang sedang mengalami kegamangan, di satu sisi memperjuangkan keberagaman, di sampinglain berusaha mempertahankan identitas diri diatas kemajemukan pemahaman.

Tak jarang keadaan ini membawa arus pada pemahaman yang bersifat ekslusif atau sikap yang menganggap agama atau pemahaman kelmpok tertentu yang paling benar dan pengakuan terhadap yang lain sebaliknya dianggap menyimpang. Sikap ini menggiring pada sikap inklusivisme yang merupakan sikap tertutup terhadap pemahaman agama lain, hal ini tidak bsa dielakkan dalam rangka eksistensi dan resistensi terhadap kemajemukan tadi.    
Indonesia kini mengalami krisis fundamental, seperti krisis ekonomi, ekologi, politik dan budaya bahkan jati diri bangsa. Penganguran dimana-mana, kemiskinan, kelaparan, bencana alam, pemerkosaan negara (korupsi), dan penghancuran tradisi-tradis lokal. Mimpi dan harapan menjadi warga negara yang hidup rukun, makmur, adil dan bermartabat di balut dengan kesejahteraan sosial menjadi semakin kabur. Lambat laun ketidakjelasan ini membuat kita sebgai masyarakat menjadi bosan dengan apa yang sudah kita perbuat selama ini dan ingin mencari sesuatu yang dapat menjamin dan mewujudkan mimpi-mimpi itu.
Agama seringkali dianggap sebagai pemicu konflik yang terjadi dalam masyarakat. Agama sendiri sudah menjadi persoalan publik dan karenanya negara sebagai institusi legal-formal yang mengatur dan mengendalikan kehiduan publik menjadi sangat penting. Dalam rangka mengcounter problem dan mewujudkan mimpi itu peraturan dibut berdasarkan kesepakatan dan nilai-nilai universal yang dapat diterima oleh semua masyarakat.
Agama Sipil (Sipil Religion)
            Agama menjadi wacana tersendiri dalam kajian sosiologis, tokoh-tokoh seperti Coumte, Durkheim, Marx dan Weber sering mengacu pada wacana teologis dalam analisisnya. Auguste Comte dan Henri Saint Simon, dianggap sebagai bapak pendiri sosiologi. Comte beranggapan sosiologi tidak berbeda dengan ilmu alam, dan merupakan bagian darinya. Sehingga observasi empiris menjadi dasar kuat untuk mencari dan memunckan kajian yang rasionalis dan positivistik mengenai kehidupan sosial dan akan memberikan sumbangsih dalam ilmu kemasyarakatan. Didalam masyarakat pramodern, konsepsi teologis mengenai “ada ketuhanan” (devine being) yang digambarkan kedalam keteraturan kosmos dan alam termasuk sejarah kelompok suku, memberikan dasar bagi hirearki dan aturan moral. Menurut Bryan Wilson,  dalam masyarakat modern, sosiologi menjelma sebagai teologi bahkan menggantikan perannya sebagai sumber prinsip-prinsip penuntun kehidupan sosial. Bentuk positivistik seperti ini berimbas pada hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku keyakinan dalam masyarakat modern.
            Disamping Coumte, sosiolog ain seperti Emile Dukrkheim menawarakn ulasan yang menurut Peter Connolli evolusioner mengenai masyarakat manusia, dari masyarakat kesukuan kepada masyarakat republik, dari magis kepada raionalis, yang menggambarkan adanya ulasan mengenai kemunduran ritual dan dogma keagamaan secara sedikit demi sedikit. Fokus sosiologi agama Durkheim adalah mengenai fungsi agama dalam menjembatani ketegangan yang mempengaruhi antara praktik religius, keyakinan dan watak kesukuan dalam menghasilkan solidaritas sosial, menjaga kelangsungan hidup masyarakatnya tatkala ada tantangan yang mengancam eksistensi hidupnya dari dalam maupun luar lingkungan suku atau masyarakatnya.
            Menurut Dukheim agama mampu menyatukan anggota  masyarakat melalui deskripsi simbolik umum mengenai kedudukan mereka (umat bergama) dalam kosmis (alam semesta), sejarah, dan tujuan dalam keteraturan kehidupan.  Agama juga mensakralkan kekuatan atau hubungan-hubungan yang terbangun dengan masyarakat.  Oleh karenanya dapat di tarik pengertian, bahwa agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat kedalam suatu proyek sosial bersama, sekumpulan nilai, dan tujuan sosial bersama.
            Kaitannya dengan agama sipil (civil religion), bayangan saya sebelum mebaca mungkin sama dengan teman-teman, agama sipil ini meru pakanagama baru dalam artian setara dengan agama konvensional yang diakui negara. Pengertian agam sipil sendiri bermacam-macam. Agam sipil pertama kali di kenalkan oleh jean jaques Rosseau dalam bukunya On Social Contract didalamnya ia membagi peran agama menjadi dua yaitu pertama agama manusia yakni sebagai religion of gospel atau agama kitab suci bisa dikatakan agama yang menekankan moralitas dan penyembahan terhadap Tuhan, kedua agama masyarakat merupakan agama sebuah masyarakat yang dipeluk suatu bangsa, yang terikat dengan dogma-dogma , ritus, ibadat yang diatur undang-undang negara. Diskursus ini terdengar gaungnya, ketika Robert Bellah seoranga agamawan Amerika, ketika ia memperhatikan pidato plantikan Presiden john F Kennedy yang menyebut nama tuhan sebanyak tiga kali, penyebutan tu tidak ditunjukkan pada agama atau kepercayaan tertentu karena ia hanya mengacu pada konsep Tuhan, sebuah kata yang dapat di terima oleh hampir semua orang Amerika. Dimensi keagaaan publik ini di ekspresikan dalam sepersngkat keyakinan, simbol, dan rituak yang Bellah sebut Agama Sipil Amerika.
            Dari pengertian diatas, Andrew Shanks dalam bukunya Civil Rreligion cukup berbeda dalam mengartikan agama sipil, ia beranggapan bahwa agam sipil bukanlah agama sesunguhnya seperti praktek religius yang ada, pun tidak bersaing dengan tradisi-tradisi religius agama yang kita yakini. Melainkan agama sipil mencair dalm kehidupan beragama dan mendobrak ikatan-ikatan.  Dikatakan Agama bukan berarti menghalangi ritus keagamaan yang sudah dianut, melainkan mencoba mengkonsepsikan kehiduap bergama yang berorientasi pada kehidupan masyarkat umum.
            Agama sipil dalam pengertian Shanks menjadi sebuah displin ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan memori yang terpecah belah oleh masa lalu, sehingga mampu membuka kemungkinan ditemapanya ikatan-ikatan solidaritas baru yang mana solidaritas yang dihasilkan adalah solidaritas yang mampu melampaui perbedaan antara orangberiman dan tidak beriman, teis dan ateis. Disebut sebagai agama, karena dia menginginkan sumber otoritas yang bebas dari rezim yang berkuasa (negara), dan disebut sipil karena dia menginginkan bebas dari pengaruh gereja.
Perwujudan nilai kebangsaan
            Dalam pengertian Andrew Shanks diatas, agama sipil bukanlah aagama yang memiliki identitliturgis seperti agama konfensional. Namun agama sipil merupakan sebutan bagi praktek masyarakat sebagai warga negara yang berusaha mewujudkan kehidupan yag lebih baik dengan unsur-unsur relgius masing-masing warga dalam keyakinannya terhadap agama masing-masing. Agam Sipil sendiri sejauh yang dapat difahami muncul dari berbagai ekspresi beragamaan foramal. Semangat beraagama itulah yang merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai agama sipil.
            Dalam konteks Indonesia, secara tidak langsung sudah menerapkan konsep agama sipil. Hal itu tertuang dalam unsur-unsur yang termuat dalam teks UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar negara. Demokratisasi seringkali memunculkan suasana konfliktual antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 yaitu ”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, maka sesungguhnya agama dan negara  memiliki relasi dalam coraknya yang simbiosis. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Di dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 meyatakan dengan jelas bahwa keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap masyarakat Indonesia dalam membangusn bangsa dan negara.
            Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”.
Sumbangan individu-individu itu kemudian disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion dapat  berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat atau pun  satu kelompok agama atas lainnya.
Pancasila sendiri disebut sebagai agama sipil, dalam pengertian menjadi perekat dari semua elemen bangsa. Untuk itu perlunya “agama umum” sebagai dasar integrasi bangsa, yaitu suatu “agama rakyat” yang sifatnya umum dan terbuka, yang kelak dinamakan “agama sipil.” Pada setiap  masyarakat, komunitas dan setiap orang memakai nilai-nilai kebersamaan yang universal berdasarkan common sense. Civil religion juga dapat diartikan sebagai “suatu perangkat umum ide, ritual, simbol yang memberi arah pada pengertian kesatuan,” yang dinamakannya “agama umum.” Melalui tangan Robert N. Bellah, agama sipil disistematisasi secara bertahap, sehingga dengan mempelajari elemen-elemenya berdasarkan sumpah Presiden dan sejarah bangsa Amerika dan hari-hari besar bangsa tersebut, yang akhirnya menjadi dimensi agama dalam kehidupan politik negara Amerika.
Berdasarkan pemikiran intelektual, agama sipil adalah realitas transenden. Agama sipil adalah suatu symbol hubungan antara warganegara dengan waktu dan tempat serta sejarah bangsa tersebut di bawah pengertian ultimate reality. Dari tolehan filosofis, agama sipil dibawa ke dalam masyarakat menjadi “pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang pluralistik.” Suatu  filsafat hidup yang mengayomi semua warganegara yang  berbeda secara etnis dan agama. Jadi agama sipil adalah suatu gaya hidup berbangsa yang majemuk dalam agama dan menghisap semua agama formal yang ada. Yang mencoba mengilhami nilai-nilai kebangsaan dari suatu negara.
            Kini sebagai warga negara yang mngaku beragama, berkeyainan atau berpenghayat.yang bernyawa. Sudah saatnya kita kembali kepada nilai-nilai luhur yang dapat mempersatukan, menguatkan identitas bangsa ini. Yang selama ini agama menjadi biang konflik kini ciptakan agama yang penuh simpatik empatik.



Buku Bacaan
Shanks, Adrian, Agama Sipil Civil Religion, Yogyakarta: Jaklasutra Yogyakarta, 2003
Connolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKIS  Yogyakarta, cet. 2011
Abdullah Taufik, A.C Van der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1986
http://muhammadqorib.blogspot.com/2009/12/eksistensi-civil-religion.html






*Penulis Mahasiswa ISIF Cirebon Jurusan Filsafat Agama



             

Translate