Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Rabu, 31 Desember 2014

DARI BARZANJI HINGGA MAHBUB DJUNAIDI (Menelusuri Tradisi Sastra Masyarakat Nahdliyin)



DARI BARZANJI HINGGA MAHBUB DJUNAIDI
(Menelusuri Tradisi Sastra Masyarakat Nahdliyin)
Oleh: Sobih Adnan*


Membicarakan sastra, berarti memasuki ruang yang luas-bebas. Saking bebasnya, definisi sastra tidak pernah terkepal mutlak, seragam, sewarna. Apapun bisa dimaknakan sebagai sastra selagi itu berhubungan dengan keindahan, naluri, kreasi, kritik, dan hal-hal lain yang terkesan
samar maupun terang-terangan.  Sedikit memperhemat, saya katakan sastra adalah keindahan yang terkandung naluri, dan naluri yang membaluti  keindahan, juga kebebasan yang menyimpan kritik, dan kritik yang menyembunyikan kebebasan.
            Meskipun begitu, sastra tetap harus membungkus kebebasan yang telah dikodratkan kepadanya. Meski lagi-lagi, bungkus adalah batas, dan batas adalah lawan dari kebebasan. Bungkus yang dimaksud bukan sesuatu yang membatasi perkembangan, dia tentu harus mewujud lentur, boleh dibilang, bungkus yang hanya bertugas sebagai pendamping  karya sastra agar tidak terkesan hambar, samar, bahkan hilang karena tercecer di mana-mana, tanpa adanya ideologi, atau tujuan.
            Perkataan Aristoteles tentang sastra akan sedikit mempermudah putaran ini, bahwa sastra hanyalah kegiatan lain melalui agama, pengetahuan, dan filsafat. Sastra bukan merupakan kesepian –meski kerap bersumber dari kesunyian-, sastra selalu hadir dengan hal-hal lain, bahkan berduyun-duyun, salah satunya agama, lebih kecil dari hal tersebut adalah moral, pemikiran, ide, gagasan, dan perjuangan. Maka wajar jika kredo Sutardji Calzoum Bachri tentang kodrat kebebasan kata selalu ditentang selama bertahun-tahun, bagaimana kata tidak bisa diposisikan sebagai pengantar pengertian? Padahal hal tersebut bisa saja bertentangan dengan prinsip semiotika, di mana bahasa yang bersifat aksidensi akan terikat kuat pada benda sebagai substansinya, hingga akhirnya pegertian demi pengertian yang ada bertugas menyampaikan sebuah pemikiran dan sikap, semenjak dulu.

Kitab Barzanji, NU, dan Sastra
Iqd Al Jawahir –kalung permata-, mungkin tak begitu banyak yang tahu tentang nama kitab tersebut. Tapi saat diukur dari nama sebuah daerah yang menjadi tempat di mana kitab tersebut di tulis,  sebagian masyarakat Indonesia akan menghangat-akrab kepadanya. Di Kurdikistan Barzinj seorang ulama bernama Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji telah menuliskan kitab ini dengan kemasan sastra yang luar biasa. Kitab Barzanji, sebagian masyarakat Jawa menyebutnya dengan Berjanjen, Perjanji, atau mungkin terdapat juga sebutan lainnya. Kitab yang mencatat sejarah hidup Nabi Muhammad SAW ini berisikan runtutan silsilah, perjalanan hidup semasa kecil, remaja, menginjak dewasa hingga diangkat menjadi rasul. Selain itu, disinggung pula sifat-sifat, keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa penting lainnya. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini enak dibaca.
            Di antara sebagian masyarakat Indonesia yang tak asing dengan keberadaan kitab Barzanji adalah warga Nahdlatul Ulama (NU). Pembacaan rutin terhadap kitab ini telah diposisikan sebagai tradisi keagamaan, dan tentu pola-pola kesusasteraan di dalamnyapun memengaruhi para penulis NU untuk tak segan menciptakan karya-karya yang bermuatan sastra. Paling tidak, masyarakat NU terhadap sastra; telah lama terbiasa.
            Konon, sekitar tahun 1184 kekuatan umat Islam di perang Salib mengalami penurunan, mereka terpojok. Shalahudin Al-Ayubi sebagai penanggung jawab mulai mengambil pola-pola pembangun semangat melalui segenap syair-syair penggugah yang sengaja dilafalkan oleh para tentara, beberapa penyair dan penulis ternama masa itu dikumpulkan, lalu muncullah yang dirasa paling menarik untuk selalu dibaca, dengan deskripsi yang sastrawi dan sejuk, kitab Barzanji pada masa itu tidak mengabaikan spirit perlawanannya. Dari sinilah corak-corak sastra masyarakat NU dididik, melakukan perlawanan senyap, melalui syair-syair indah yang tetap mengena.
           
Sastra Pesantren
Selain kitab Barzanji yang akrab di tengah-tengah warga NU semenjak lampau. Syair-syair karya sastra yang lain juga turut mewarnai tradisi keagamaan di dalamnya. Tak jarang, tajug atau masjid-masjid kampung masih kerap menunjukkan syair-syair hebatnya melalui apa yang biasa disebut dengan pujian. Syair dengan rima yang pas dan menjunjung lokalitas ini sering muncul dalam kegiatan rutin shalat berjamaah seusai dengung adzan dan jeda menunggu imam datang. Belakangan, para akademisi dan peneliti berani menyebut tradisi sastra keagamaan ini di kelompokkan ke dalam sastra pesantren.
            Seperti juga yang dikatakan Ahmad Baso, sastra pesantren dalam beragam bentuknya -hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syiir. Nazaman adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis-ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan.
            Maka, NU yang memiliki basis tradisional kuat ini dinilai memiliki kedekatan khusus dengan sastra. Apa yang dikatakan dengan sastra pesantren itu tidak dapat dipisahkan dengan tradisi warga NU yang menjadikan pesantren sebagai poros untuk mengambil kebijakan sosial dan keagamaan apapun. Seperti di awal, sastra pesantren hadir dari spirit yang sama, bersifat universal, sarat kritik, serta  mengandung pesan moral dan kemanusiaan.

Ruh NU di Tangan Mahbub Djunaidi
            Tak sedikit sastrawan, penyair, dan penulis yang terlahir dari kultur Nahdliyin. Sekarang telah hadir nama-nama besar seperti Gus Mus, Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, dan beberapa penyair generasi baru yang turut mewarnai kesusasteraan Indonesia, dan mereka berasal dari tradisi pesantren yang kental. Tapi dulu, NU memiliki sesosok penulis yang jika ditarik dari pemaparan tentang tradisi sastra dan NU di atas tadi; maka dalam jiwa dan penanya hampir semuanya terkumpul. Dialah Mahbub Djunaidi.
            Mahbub Djunaidi menyebut dirinya sebagai “generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul” (Kesatria, Kompas, 14 Juni 1985). Hampir di setiap konsentrasi penulisan dia hadir, sastra, prosa, serta essai, meskipun sebagian besar hidupnya ia abdikan sebagai aktivis NU dan jurnalis.
            Ada beberapa hal yang menarik dari seorang Mahbub Djunaidi, dalam menulis essai misalnya, ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana. Gaya-gaya yang dipertahankannya inilah yang menjadikan Mahbub sebagai penulis essai paling wahid di Indonesia. Seorang Goenawan Mohammad menyatakan bahwa kebiasaannya menulis “Caping” di Tempo adalah ikhtiar meneruskan tradisi Mahbub.
            Gaya khas Mahbub Djunaidi dalam essai-essainya inilah yang menjadikan dia tak bisa dipisahkan begitu saja dengan tradisi masyarakat NU. Tak jarang, kyai-kyai pesantren tertangkap di mata santrinya sebagai sosok yang tegas namun humoris, berbahasa dengan kreatif, serta selalu menjawab persoalan dengan sederhana. Mahbub berhasil memasukkan ruh-ruh tersebut ke dalam kegemarannya menulis. Pesantren di otaknya kerap mengucur deras menjadi tinta untuk sasaran objek kritiknya dalam menulis.
            Di samping gayanya yang khas pesantren, Mahbub juga dibentuk dalam tradisi kepesantrenan yang kuat, termasuk keterlibatanya dalam menulis dan bersastra. Pesantren adalah hubungan kyai dan santri, lalu santri yang menjadi kyai ke santri berikutnya, dalam dunia pesantren hal tersebut disebut dengan sanad. Tradisi menulis Mahbub mengalami hal yang biasa terjadi dalam dunia pesantren tersebut, bermula dari seorang penulis bernama KH. Wahid Hasyim yang mendidik keras KH. Saefudin Zuhri, lalu kyai Saefudin menemukan dan mendidik seorang Mahbub Djunaidi. Tradisi rantai keilmuan ini menjadikan Mahbub menjadi penulis yang benar-benar penuh dengan ide dan gaya-gaya pesantren.
            Dalam dunia sastra, Mahbub termasuk salah satu yang diidolakan Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis kritis yang hampir selalu dimusuhi penguasa pada zamannya. Koesalah Toer menulis dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, bahwa pada peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun 1996, Pram yang biasanya enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan forum. Dikatakannya, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.
            Lengkaplah sudah ruh ke-NUan dan pesantren di dalam jiwa sastrawan yang di tahun 1974 meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini, bahwa sastra pesantren kerap bersifat universal, sarat kritik, serta  mengandung pesan moral dan kemanusiaan.
            Ia ingin menulis "hingga tak lagi mampu menulis'" katanya. Pria kelahiran Jakarta, 27 Juli 1933 merupakan salah satu aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus ketua pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PBNU. Mahbub menutup usianya di Bandung,  pada tanggal 1 Oktober 1995, dengan mengharap berkah kecerdasannya;
Al-fatihah.


* Seorang santri, Mahbubian yang juga Gusdurian, dan seorang mahasiswa ISIF Cirebon yang hampir gagal PLP.


Makalah ini disajikan dalam Diskusi Petengan ISIF Cirebon, Kamis, 28 Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate