DARI BARZANJI HINGGA
MAHBUB DJUNAIDI
(Menelusuri Tradisi
Sastra Masyarakat Nahdliyin)
Oleh: Sobih Adnan*
Membicarakan sastra, berarti memasuki ruang yang luas-bebas.
Saking bebasnya, definisi sastra tidak pernah terkepal mutlak, seragam,
sewarna. Apapun bisa dimaknakan sebagai sastra selagi itu berhubungan dengan keindahan,
naluri, kreasi, kritik, dan hal-hal lain yang terkesan
samar maupun
terang-terangan. Sedikit memperhemat,
saya katakan sastra adalah keindahan yang terkandung naluri, dan naluri yang
membaluti keindahan, juga kebebasan yang
menyimpan kritik, dan kritik yang menyembunyikan kebebasan.
Meskipun
begitu, sastra tetap harus membungkus kebebasan yang telah dikodratkan
kepadanya. Meski lagi-lagi, bungkus adalah batas, dan batas adalah lawan dari
kebebasan. Bungkus yang dimaksud bukan sesuatu yang membatasi perkembangan, dia
tentu harus mewujud lentur, boleh dibilang, bungkus yang hanya bertugas sebagai
pendamping karya sastra agar tidak
terkesan hambar, samar, bahkan hilang karena tercecer di mana-mana, tanpa adanya
ideologi, atau tujuan.
Perkataan Aristoteles tentang sastra akan sedikit
mempermudah putaran ini, bahwa sastra hanyalah kegiatan lain melalui agama,
pengetahuan, dan filsafat. Sastra bukan merupakan kesepian –meski kerap
bersumber dari kesunyian-, sastra selalu hadir dengan hal-hal lain, bahkan
berduyun-duyun, salah satunya agama, lebih kecil dari hal tersebut adalah
moral, pemikiran, ide, gagasan, dan perjuangan. Maka wajar jika kredo Sutardji Calzoum Bachri tentang kodrat
kebebasan kata selalu ditentang selama bertahun-tahun, bagaimana kata tidak
bisa diposisikan sebagai pengantar pengertian? Padahal hal tersebut bisa saja
bertentangan dengan prinsip semiotika, di mana bahasa yang bersifat aksidensi
akan terikat kuat pada benda sebagai substansinya, hingga akhirnya pegertian demi
pengertian yang ada bertugas menyampaikan sebuah pemikiran dan sikap, semenjak
dulu.
Kitab Barzanji, NU, dan
Sastra
Iqd Al Jawahir –kalung permata-, mungkin tak begitu
banyak yang tahu tentang nama kitab tersebut. Tapi saat diukur dari nama sebuah
daerah yang menjadi tempat di mana kitab tersebut di tulis, sebagian masyarakat Indonesia akan
menghangat-akrab kepadanya. Di Kurdikistan
Barzinj seorang ulama bernama Syekh
Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji telah menuliskan kitab ini
dengan kemasan sastra yang luar biasa. Kitab Barzanji, sebagian masyarakat Jawa
menyebutnya dengan Berjanjen, Perjanji,
atau mungkin terdapat juga sebutan lainnya. Kitab yang mencatat sejarah hidup
Nabi Muhammad SAW ini berisikan runtutan silsilah, perjalanan hidup semasa
kecil, remaja, menginjak dewasa hingga diangkat menjadi rasul. Selain itu, disinggung
pula sifat-sifat, keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa penting
lainnya. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini enak dibaca.
Di antara
sebagian masyarakat Indonesia yang tak asing dengan keberadaan kitab Barzanji
adalah warga Nahdlatul Ulama (NU). Pembacaan rutin terhadap kitab ini telah
diposisikan sebagai tradisi keagamaan, dan tentu pola-pola kesusasteraan di
dalamnyapun memengaruhi para penulis NU untuk tak segan menciptakan karya-karya
yang bermuatan sastra. Paling tidak, masyarakat NU terhadap sastra; telah lama
terbiasa.
Konon,
sekitar tahun 1184 kekuatan umat Islam di perang Salib mengalami penurunan,
mereka terpojok. Shalahudin Al-Ayubi
sebagai penanggung jawab mulai mengambil pola-pola pembangun semangat melalui
segenap syair-syair penggugah yang sengaja dilafalkan oleh para tentara,
beberapa penyair dan penulis ternama masa itu dikumpulkan, lalu muncullah yang
dirasa paling menarik untuk selalu dibaca, dengan deskripsi yang sastrawi dan
sejuk, kitab Barzanji pada masa itu tidak mengabaikan spirit perlawanannya.
Dari sinilah corak-corak sastra masyarakat NU dididik, melakukan perlawanan senyap,
melalui syair-syair indah yang tetap mengena.
Sastra Pesantren
Selain kitab Barzanji yang akrab di tengah-tengah warga NU
semenjak lampau. Syair-syair karya sastra yang lain juga turut mewarnai tradisi
keagamaan di dalamnya. Tak jarang, tajug atau masjid-masjid kampung masih kerap
menunjukkan syair-syair hebatnya melalui apa yang biasa disebut dengan pujian.
Syair dengan rima yang pas dan menjunjung lokalitas ini sering muncul dalam
kegiatan rutin shalat berjamaah seusai dengung adzan dan jeda menunggu imam
datang. Belakangan, para akademisi dan peneliti berani menyebut tradisi sastra
keagamaan ini di kelompokkan ke dalam sastra pesantren.
Seperti juga
yang dikatakan Ahmad Baso, sastra
pesantren dalam beragam bentuknya -hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman,
novel, syiir. Nazaman adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah
cerita, menulis-ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan
maupun tulisan.
Maka, NU
yang memiliki basis tradisional kuat ini dinilai memiliki kedekatan khusus
dengan sastra. Apa yang dikatakan dengan sastra pesantren itu tidak dapat
dipisahkan dengan tradisi warga NU yang menjadikan pesantren sebagai poros
untuk mengambil kebijakan sosial dan keagamaan apapun. Seperti di awal, sastra
pesantren hadir dari spirit yang sama, bersifat universal, sarat kritik,
serta mengandung pesan moral dan kemanusiaan.
Ruh NU di Tangan Mahbub
Djunaidi
Tak sedikit
sastrawan, penyair, dan penulis yang terlahir dari kultur Nahdliyin. Sekarang
telah hadir nama-nama besar seperti Gus Mus, Zawawi Imron, Ahmad Tohari, Acep
Zamzam Noor, dan beberapa penyair generasi baru yang turut mewarnai
kesusasteraan Indonesia, dan mereka berasal dari tradisi pesantren yang kental.
Tapi dulu, NU memiliki sesosok penulis yang jika ditarik dari pemaparan tentang
tradisi sastra dan NU di atas tadi; maka dalam jiwa dan penanya hampir semuanya
terkumpul. Dialah Mahbub Djunaidi.
Mahbub
Djunaidi menyebut dirinya sebagai “generalis, bukan spesialis. Saya menulis
ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa
saja yang bisa dipikul”
(Kesatria, Kompas, 14 Juni 1985). Hampir di setiap konsentrasi penulisan dia
hadir, sastra, prosa, serta essai, meskipun sebagian besar hidupnya ia abdikan
sebagai aktivis NU dan jurnalis.
Ada
beberapa hal yang menarik dari seorang Mahbub Djunaidi, dalam menulis essai
misalnya, ciri khas
tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan
persoalan dengan sederhana. Gaya-gaya yang dipertahankannya inilah yang
menjadikan Mahbub sebagai penulis essai paling wahid di Indonesia. Seorang
Goenawan Mohammad menyatakan bahwa kebiasaannya menulis “Caping” di Tempo
adalah ikhtiar meneruskan tradisi Mahbub.
Gaya khas
Mahbub Djunaidi dalam essai-essainya inilah yang menjadikan dia tak bisa
dipisahkan begitu saja dengan tradisi masyarakat NU. Tak jarang, kyai-kyai
pesantren tertangkap di mata santrinya sebagai sosok yang tegas namun humoris,
berbahasa dengan kreatif, serta selalu menjawab persoalan dengan sederhana.
Mahbub berhasil memasukkan ruh-ruh tersebut ke dalam kegemarannya menulis. Pesantren
di otaknya kerap mengucur deras menjadi tinta untuk sasaran objek kritiknya
dalam menulis.
Di samping
gayanya yang khas pesantren, Mahbub juga dibentuk dalam tradisi kepesantrenan
yang kuat, termasuk keterlibatanya dalam menulis dan bersastra. Pesantren
adalah hubungan kyai dan santri, lalu santri yang menjadi kyai ke santri
berikutnya, dalam dunia pesantren hal tersebut disebut dengan sanad. Tradisi
menulis Mahbub mengalami hal yang biasa terjadi dalam dunia pesantren tersebut,
bermula dari seorang penulis bernama KH. Wahid Hasyim yang mendidik keras KH.
Saefudin Zuhri, lalu kyai Saefudin menemukan dan mendidik seorang Mahbub
Djunaidi. Tradisi rantai keilmuan ini menjadikan Mahbub menjadi penulis yang
benar-benar penuh dengan ide dan gaya-gaya pesantren.
Dalam dunia
sastra, Mahbub termasuk salah satu yang diidolakan Pramoedya Ananta Toer,
seorang penulis kritis yang hampir selalu dimusuhi penguasa pada zamannya.
Koesalah Toer menulis dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali,
bahwa pada peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi
Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi tahun 1996, Pram yang biasanya
enggan diminta sambutan, kali ini maju ke depan forum. Dikatakannya, di kala ia
diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.
Lengkaplah
sudah ruh ke-NUan dan pesantren di dalam jiwa sastrawan yang di tahun 1974
meraih penghargaan Roman Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini, bahwa
sastra pesantren kerap bersifat universal, sarat kritik, serta mengandung
pesan moral dan kemanusiaan.
Ia ingin
menulis "hingga tak lagi mampu menulis'" katanya. Pria kelahiran
Jakarta, 27 Juli 1933 merupakan salah satu aktivis yang membidani kelahiran
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus ketua pertamanya, juga
sempat menjabat di GP Ansor dan PBNU. Mahbub menutup usianya di Bandung, pada tanggal 1 Oktober 1995, dengan mengharap
berkah kecerdasannya;
Al-fatihah.
* Seorang santri, Mahbubian yang juga Gusdurian, dan seorang mahasiswa
ISIF Cirebon yang hampir gagal PLP.
Makalah ini disajikan
dalam Diskusi Petengan ISIF Cirebon, Kamis, 28 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar