Fitrah Manusia Persepektif Murthado Muthahari
Pada hakikatnya kajian para filosofis dalam mencari pengetahuan meliputi
tiga tema besar, yaitu Tuhan, manusia dan alam semesta, sebagaian filsuf
menaruh perhatiannya masing-masing sesuai apa yang ia inginkan dan manfaatkan.
lalu apakah fitrah termasuk kajian filosofis dalam ketiga tema besar tersebut.
Jika dilihat dari Historis bahwa para filosuf baik dari peradaban Yunani
(Aristoteles, Plato ataupun Socrates), kemajuan intelektual muslim klasik,
ataupun abad pencerahan ala barat dengan jargon pengetahuannya empiris,
positivtik, struktural maupun fenomenologi dan para pemikir islam kontemporer
tidak pernah menyebutkan ataupun membahas mengenai makna fitrah tadi. Menurut
asumsi saya bahwa fitrah merupakan sesuatu yang berada di dalam tubuh manusia,
tidak memiliki tempat untuk di pijak dan tidak mempunyai bentuk tetapi bisa
dirasakan oleh manusia, percaya ataupun tidak bahwa fitrah memang berada pada
diri manusia, lalu bagaimanakah kita mengetahui dan menggalinya?
Menurut
pandangan Murtaho Muthahari bahwa kajian fitrah dibagi menjadi dua cabang,
yaitu Satu cabang mengacu kepada
manusia, dan cabang lainnya mengacu pada Tuhan. Sementara, di sisi lain, ia
merupakan pusat kajian yang mendalam mengenai sumber-sumber pengetahuan
keislaman, yakni al-Quran dan Hadis.
Lafal
fithrah disebutkan dalam al-Quran, hanya saja yang menyebutkannya dalam bentuk
ini (fitrah), yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat ini: “Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. Al-Rum [30]: 30).
Artinya, Allah telah menciptakan manusia
dengan keadaan tertentu, yang didalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang
ditempatkan Allah dalam dirinya saat ia diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi
fitrahnya.
Didalam
kitab al-Nihayah (kitab hadis) karya Ibnu Atsir menyebutkan kosakata fitrah,
yang berbunyi ”Setiap bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah”. Setiap
manusia memiliki fitrahnya masing-masing sesuai karakter yang dia miliki dan
dalam diri manusia berbeda satu sama lain, artinya ia merupakan sesuatu yang
melekat pada diri manusia dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha,
karena itu menurut Murthado Muthahari bahwa fitrah merupakan sekumpulan hal
yang telah dan hingga sekarang dikenal dengan “kemanusiaan”. Sementara itu,
kenyataan tidak ada satu aliran pun yang menolak adanya nilai-nilai
kemanusiaan.
Dalam upaya kita membuktikan eksistensi hal-hal yang bersifat fitri
dalam diri manusia, cukuplah hal itu kita lakukan dengan cara melihat
eksistensinya secara aktual dalam diri kita ataukah harus dengan pembuktian
dengan cara yang lain. Di dalam tubuh (diri) manusia ada hal-hal yang bersifat
fitrah yang kita rasakan kefitrahannya dalam kalbu dan hati nurani kita,
artinya kita sebenarnya tidak membutuhkan dalil apapun untuk itu. Maka dari itu
tetap dan selalu menganggap manusia sebagai mahluk yang sangat misterius dan
salah satu diantara sekian banyak misteri itu adalah masalah fitrah yang ada
dalam diri manusia, memang didalam diri kita terdapat setumpuk konsep atau gambaran sekalipun
saat kita dilahirkan, karena kita memiliki penglihatan, pendengaran, dan kalbu.
Pengatahuan
dan Fitrah
Di dunia ini manusia diingatkan pada prinsip-prinsip tentang segala
sesuatu, hanya saja untuk mengetahuinya ia memerlukan guru, memerlukan sistem
yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi, memerlukan pengalaman
dan sebagainya. Menurut Kant (Filsuf barat) mengatakan bahwa himpunan
pengetahuan manusia itu bersifat fitrah artinya pengetahuan yang tidak
diperoleh melalui pengalaman ataupun indera, tapi pengetahuan yang mesti ada
dalam diri manusia terbentuknya aspek pemikiran manusia dan sebagiannya lagi
bersifat pengalaman dan uji coba. Unsur-unsur berfikir yang bersifat fitrah,
yang terdapat didalam bangunan akal, artinya data-data yang diperoleh dari luar
dan sebagian lainnya terkait dengan akal sejak asalnya.
Orang-orang yang mengakui adanya prinsip-prinsip berfikir yang
bersifat bawaan, haruslah mengakui sifat tersebut asli dan murni dan jika dia
ragu terhadap fitrah maka dia ragu terhadap potensi yang ada dalam dirinya
sendiri. Murthado Muthahari mengatakan
bahwa sesuatu yang terdapat dalam diri manusia dan keberadaannya sama
sekali tidak diragukan dan dengan ini manusia menjadi mahluk yang berbeda dari
semua mahluk yang ada (mengabaikan perbedaan-perbedaan lainnya) adalah bahwa
manusia dapat menyadari alam diluar dirinya atau berfikiran tentang segala
sesuatu yang ada disekelilingnya. Artinya manusia adalah makhluk yang berfikir
atau kita gunakan istilah lain, manusia adalah mahluk yang sadar, sadar akan
dirinya dan akan alam sekitarnya. Karena kelebihannya itu, manusia dapat
menerima pengetahuan dari luar yang disebut sebagai menalar ( al-idrak).
Kecenderungan-kecenderungan manusia di muka bumi memiliki lima
kategori, atau setidaknya lima kategori inilah yang kita ketahui sampai
sekarang. Pertama, Mencari kebenaran: kecendrungan untuk menemukan
berbagai hakikat seperti apa adanya dan menalar hakikat sesuatu (kesadaran
filosofis). Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu merupakan
kesadaran yang tersembunyi dalam diri manusia dan betapa pentingnya pencapaian
hakikat bagi manusia, makna suatu kebenaran terletak pada kebebasan dan
kesadaran serta menjadi tahu tentang alam semesta ini. Kedua, Moral:
kecendrungan yang ada dalam diri manusia ialah berpegang pada nilai-nilai
moral, manusia mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal; bukan hal itu
bermanfaat bagi dirinya tetapi hal tersebut merupakan keutamaan dan kebajikan
yang menghantarkan manusia pada kebaikan spiritual. Ketiga, estetika:
Manusia tertarik pada keindahan, baik moral maupun bentuk karena keindahan pada
hakikatnya memang dibutuhkan dengan sendirinya oleh manusia. Keempat,
Kreasi dan Penciptaan: Dalam diri
manusia terdapat sejumlah kecendrungan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan
belum di buat orang. Kreativitas dan daya cipta manusia biasanya diaktualisasikan
dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti merancang metode, membangun kota dan
lain-lain Kecendrungan seperti ini memang ada dalam diri semua orang dan setiap
orang senang membuat dan menciptakan sesuatu yang belum pernah terfikirkan
sebelumnya. Kelima, Kerinduan dan Ibadah: kerinduan merupakan suatu
kondisi yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan cinta karena kerinduan bisa
membuat seseorang keluar dari keadaan normalnya, sehingga ia tidak mau makan
ataupun minum dan memusatkan perhatiannya pada titik yang menjadi pusat
perasaannya. Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh kondisi
menyatu dengan orang yang dirindukan. Ibnu Sina dan Mulla Shadra membagi
kerinduan atas dua poin, sebagain merupakan kerinduan seksual (majazi) dan sebagiannya
kerinduan rohani (nafsani).
Kerinduan seksual karena merupakan naluri, maka akan berhenti jika
kerinduannya terpenuhi oleh keinginannya, sebab itulah yang menjadi tujuannya.
Dalam jiwa manusia terdapat benih-benih kerinduan rohani dan nafsani, ma’syuq
hakiki manusia (metafisika) terdapat dalam diri manusia, menyatu dengan roh
manusia, setelah roh itu sampai menemukannya. Ma’syuq-nya hanyalah penggerak
dan pendorong kerinduan itu dan orang yang merindukannya mencari batinnya suatu
hakikat yang lain dan ia merasa bahagia dengan gambaran al-ma’syuq yang ia
lihat dalam rohnya. Artinya, kerinduan tersebut tidak terdiri dari dua orang
tetapi pusatnya ialah diri sendiri.
Secara umum terdapat dua penafsiran yang dapat digunakan untuk
menginterprestasikan kelima kategori tersebut. Interprestsai pertama ialah
pendapat pertama mengatakan bersumber dari fitrah. Artinya, manusia merupakan
realitas yang tersusun dari jasad dan roh, dan didalam roh terdapat hakikat
ilahiah. Tafsiran kedua tidak mengakui hal-hal tersebut yang bersifat fitri,
karena itu ia harus menyandarkan diri pada tafsir-tafsir lain yang ada diluar
diri manusia.
Dalam mengurai tema fitrah ini pendekatkatan khas yang beliau pakai
ialah filsafat, maka persoalan fitrah yang seolah-olah sederhana tetapi
ditangan beliau begitu indah dan memperluas wawasan dan makna, karena itu
pemikiran Murthado Muthahari tidak menitikberatkan pada istilah ataupun
definisi tetapi kebebasan pada jati diri masing-masing manusia tidak mesti
disamakan satu sama lain istilah itu. Anda mau menerima ataupun tidak itu
terserah pada persepsi anda masing-masing tergantung bagaimana anda memahami
hakikat dari alam semesta ini termasuk fitrah.
Diskusi Petengan
11 september 2012
Winarno (Ariel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar