Bem ISIF

Bem ISIF
Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina

cari

Rabu, 31 Desember 2014

Fitrah Manusia Persepektif Murthado Muthahari




Fitrah Manusia Persepektif Murthado Muthahari

Pada hakikatnya kajian para filosofis dalam mencari pengetahuan meliputi tiga tema besar, yaitu Tuhan, manusia dan alam semesta, sebagaian filsuf menaruh perhatiannya masing-masing sesuai apa yang ia inginkan dan manfaatkan. lalu apakah fitrah termasuk kajian filosofis dalam ketiga tema besar tersebut. Jika dilihat dari Historis bahwa para filosuf baik dari peradaban Yunani (Aristoteles, Plato ataupun Socrates), kemajuan intelektual muslim klasik, ataupun abad pencerahan ala barat dengan jargon pengetahuannya empiris, positivtik, struktural maupun fenomenologi dan para pemikir islam kontemporer tidak pernah menyebutkan ataupun membahas mengenai makna fitrah tadi. Menurut asumsi saya bahwa fitrah merupakan sesuatu yang berada di dalam tubuh manusia, tidak memiliki tempat untuk di pijak dan tidak mempunyai bentuk tetapi bisa dirasakan oleh manusia, percaya ataupun tidak bahwa fitrah memang berada pada diri manusia, lalu bagaimanakah kita mengetahui dan menggalinya?

Menurut pandangan Murtaho Muthahari bahwa kajian fitrah dibagi menjadi dua cabang, yaitu  Satu cabang mengacu kepada manusia, dan cabang lainnya mengacu pada Tuhan. Sementara, di sisi lain, ia merupakan pusat kajian yang mendalam mengenai sumber-sumber pengetahuan keislaman, yakni al-Quran dan Hadis.
Lafal fithrah disebutkan dalam al-Quran, hanya saja yang menyebutkannya dalam bentuk ini (fitrah), yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS. Al-Rum [30]: 30). Artinya, Allah telah menciptakan  manusia dengan keadaan tertentu, yang didalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat ia diciptakan. Keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Didalam kitab al-Nihayah (kitab hadis) karya Ibnu Atsir menyebutkan kosakata fitrah, yang berbunyi ”Setiap bayi yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah”. Setiap manusia memiliki fitrahnya masing-masing sesuai karakter yang dia miliki dan dalam diri manusia berbeda satu sama lain, artinya ia merupakan sesuatu yang melekat pada diri manusia dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha, karena itu menurut Murthado Muthahari bahwa fitrah merupakan sekumpulan hal yang telah dan hingga sekarang dikenal dengan “kemanusiaan”. Sementara itu, kenyataan tidak ada satu aliran pun yang menolak adanya nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam upaya kita membuktikan eksistensi hal-hal yang bersifat fitri dalam diri manusia, cukuplah hal itu kita lakukan dengan cara melihat eksistensinya secara aktual dalam diri kita ataukah harus dengan pembuktian dengan cara yang lain. Di dalam tubuh (diri) manusia ada hal-hal yang bersifat fitrah yang kita rasakan kefitrahannya dalam kalbu dan hati nurani kita, artinya kita sebenarnya tidak membutuhkan dalil apapun untuk itu. Maka dari itu tetap dan selalu menganggap manusia sebagai mahluk yang sangat misterius dan salah satu diantara sekian banyak misteri itu adalah masalah fitrah yang ada dalam diri manusia, memang didalam diri kita terdapat setumpuk konsep atau gambaran sekalipun saat kita dilahirkan, karena kita memiliki penglihatan, pendengaran, dan kalbu.
Pengatahuan dan Fitrah
Di dunia ini manusia diingatkan pada prinsip-prinsip tentang segala sesuatu, hanya saja untuk mengetahuinya ia memerlukan guru, memerlukan sistem yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi, memerlukan pengalaman dan sebagainya. Menurut Kant (Filsuf barat) mengatakan bahwa himpunan pengetahuan manusia itu bersifat fitrah artinya pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengalaman ataupun indera, tapi pengetahuan yang mesti ada dalam diri manusia terbentuknya aspek pemikiran manusia dan sebagiannya lagi bersifat pengalaman dan uji coba. Unsur-unsur berfikir yang bersifat fitrah, yang terdapat didalam bangunan akal, artinya data-data yang diperoleh dari luar dan sebagian lainnya terkait dengan akal sejak asalnya.
Orang-orang yang mengakui adanya prinsip-prinsip berfikir yang bersifat bawaan, haruslah mengakui sifat tersebut asli dan murni dan jika dia ragu terhadap fitrah maka dia ragu terhadap potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Murthado Muthahari mengatakan  bahwa sesuatu yang terdapat dalam diri manusia dan keberadaannya sama sekali tidak diragukan dan dengan ini manusia menjadi mahluk yang berbeda dari semua mahluk yang ada (mengabaikan perbedaan-perbedaan lainnya) adalah bahwa manusia dapat menyadari alam diluar dirinya atau berfikiran tentang segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Artinya manusia adalah makhluk yang berfikir atau kita gunakan istilah lain, manusia adalah mahluk yang sadar, sadar akan dirinya dan akan alam sekitarnya. Karena kelebihannya itu, manusia dapat menerima pengetahuan dari luar yang disebut sebagai menalar ( al-idrak).
Kecenderungan-kecenderungan manusia di muka bumi memiliki lima kategori, atau setidaknya lima kategori inilah yang kita ketahui sampai sekarang. Pertama, Mencari kebenaran: kecendrungan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya dan menalar hakikat sesuatu (kesadaran filosofis). Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu merupakan kesadaran yang tersembunyi dalam diri manusia dan betapa pentingnya pencapaian hakikat bagi manusia, makna suatu kebenaran terletak pada kebebasan dan kesadaran serta menjadi tahu tentang alam semesta ini. Kedua, Moral: kecendrungan yang ada dalam diri manusia ialah berpegang pada nilai-nilai moral, manusia mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal; bukan hal itu bermanfaat bagi dirinya tetapi hal tersebut merupakan keutamaan dan kebajikan yang menghantarkan manusia pada kebaikan spiritual. Ketiga, estetika: Manusia tertarik pada keindahan, baik moral maupun bentuk karena keindahan pada hakikatnya memang dibutuhkan dengan sendirinya oleh manusia. Keempat, Kreasi dan Penciptaan:  Dalam diri manusia terdapat sejumlah kecendrungan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum di buat orang. Kreativitas dan daya cipta manusia biasanya diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda-beda, seperti merancang metode, membangun kota dan lain-lain Kecendrungan seperti ini memang ada dalam diri semua orang dan setiap orang senang membuat dan menciptakan sesuatu yang belum pernah terfikirkan sebelumnya. Kelima, Kerinduan dan Ibadah: kerinduan merupakan suatu kondisi yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan cinta karena kerinduan bisa membuat seseorang keluar dari keadaan normalnya, sehingga ia tidak mau makan ataupun minum dan memusatkan perhatiannya pada titik yang menjadi pusat perasaannya. Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh kondisi menyatu dengan orang yang dirindukan. Ibnu Sina dan Mulla Shadra membagi kerinduan atas dua poin, sebagain merupakan kerinduan seksual (majazi) dan sebagiannya kerinduan rohani (nafsani).
Kerinduan seksual karena merupakan naluri, maka akan berhenti jika kerinduannya terpenuhi oleh keinginannya, sebab itulah yang menjadi tujuannya. Dalam jiwa manusia terdapat benih-benih kerinduan rohani dan nafsani, ma’syuq hakiki manusia (metafisika) terdapat dalam diri manusia, menyatu dengan roh manusia, setelah roh itu sampai menemukannya. Ma’syuq-nya hanyalah penggerak dan pendorong kerinduan itu dan orang yang merindukannya mencari batinnya suatu hakikat yang lain dan ia merasa bahagia dengan gambaran al-ma’syuq yang ia lihat dalam rohnya. Artinya, kerinduan tersebut tidak terdiri dari dua orang tetapi pusatnya ialah diri sendiri.
Secara umum terdapat dua penafsiran yang dapat digunakan untuk menginterprestasikan kelima kategori tersebut. Interprestsai pertama ialah pendapat pertama mengatakan bersumber dari fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun dari jasad dan roh, dan didalam roh terdapat hakikat ilahiah. Tafsiran kedua tidak mengakui hal-hal tersebut yang bersifat fitri, karena itu ia harus menyandarkan diri pada tafsir-tafsir lain yang ada diluar diri manusia.
Dalam mengurai tema fitrah ini pendekatkatan khas yang beliau pakai ialah filsafat, maka persoalan fitrah yang seolah-olah sederhana tetapi ditangan beliau begitu indah dan memperluas wawasan dan makna, karena itu pemikiran Murthado Muthahari tidak menitikberatkan pada istilah ataupun definisi tetapi kebebasan pada jati diri masing-masing manusia tidak mesti disamakan satu sama lain istilah itu. Anda mau menerima ataupun tidak itu terserah pada persepsi anda masing-masing tergantung bagaimana anda memahami hakikat dari alam semesta ini termasuk fitrah.
Diskusi Petengan
11 september 2012
Winarno (Ariel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Translate